Bau roti langsung memenuhi indra penciumanku saat mendorong pintu toko roti milikku. Hmm, sebenarnya bukan sepenuhnya milikku, sih. Awalnya toko roti ini dikelola Oma dari pihak Papa. Dan dua tahun belakangan, kepemilikan toko pindah ke tanganku. Jika ditanya alasan Oma menyerahkan toko bernama Kat Bakery ini untukku. Jawabannya cuma satu. Oma ingin memberi hadiah kecil untuk cucu satu-satunya. Oma memang sesayang itu padaku.
Alhasil, aku harus berhenti dari kantor dan fokus mengelola toko.
“Siang, Mbak,” sapa Juli dari balik kasir.
Juli ini pegawai termuda yang bekerja di sini. Aku merekrutnya saat Juli baru saja lulus SMA dan mempercayakannya di bagian kasir. Pembawaan Juli yang periang dan murah senyum menurutku sangat cocok dengan tempatnya sekarang.
“Siang,” aku menghentikan langkahku. “Jul, habis potong poni?”
Juli tersenyum dengan bibir pink hasil polesan liptint favoritnya, “Ihh, Mbak kok tau sih? Padahal gue dari tadi berdiri di sini enggak ada yang nyadar sama sekali.”
Itu salah satu keahlianku. “Kelihatan banget kok bedanya.”
Juli mengacungkan dua jempolnya, “Mbak Atri emang the best lah pokoknya.”
Aku balas tersenyum sembari mengedarkan pandanganku. “Oh, iya. Yani mana?”
Yani itu bagian front counter. Yang biasanya aku bantu jika customer sedang banyak-banyaknya.
Berbeda dari Juli, Yani sedikit lebih pendiam. Aku ingat sekali saat perempuan berhijab itu pertama kali bekerja. Yani lebih suka jadi pendengar, apalagi jika dipasangkan dengan Juli. Tetapi, sekarang lain cerita. Yani berhasil beradaptasi dan akrab dengan yang lain.
“Toilet, Mbak.”
Aku mengangguk samar lalu kembali melanjutkan langkahku menuju dapur. Ini rutinitasku setiap hari. Entah itu pagi, siang atau sore, aku selalu menyempatkan datang mengecek toko. Dan akan tinggal membantu ketika toko sedang ramai-ramainya.
“Siang!” sapaku sambil melempar senyum.
Dua laki-laki yang lengkap dengan apron putih, masker, dan penutup kepala membalas sapaanku. Yang botak dan bermata sipit itu namanya Ilham. Sedangkan yang rambutnya agak ikal namanya Dimas. Mereka berdua kebagian tugas mengulen adonan. Jadi, jangan heran kalau lengan mereka bisa dibilang cukup kekar.
Aku lalu menghampiri Mbak Lisa yang sedang memasukkan loyang roti ke dalam oven. “Serius amat.”
Mbak Lisa berbalik cepat kemudian melepas maskernya. Kamal yang berdiri di samping Mbak Lisa segera mengambil alih memasukkan sisa loyang.
“Eh, dari tadi?”
Aku menggeleng. “Enggak, baru aja nyampe.”
Kepalaku menengok ke belakang, memperhatikan kesibukan Dimas dan Ilham. “Perasaan roti di etalase masih banyak.”
“Kita lagi buat pesanan yang masuk.”
“Oh, banyak juga,” gumamku.
“Dari kantor yang depan toko, tuh,” jawab Mbak Lisa.
“Mau gue bantu?”
“Enggak usah, itu tinggal dipanggang.” Mbak Lisa menunjuk adonan di atas meja menggunakan dagunya.
Toko rotiku memang tidak terbilang besar. Pelangganku paling banyak dari budak korporat—well, aku juga pernah jadi bagian dari mereka— yang kantornya tidak jauh dari sini. Selebihnya, hanya kenalan keluargaku. Entah itu kenalan Papa, Mamak atau Oma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Kedua
RomanceTahun ini usia Katrina genap 26 tahun. Dan dalam jangka waktu setahun kemarin, sudah ada dua pria yang berani datang ke rumahnya. Bermaksud melamarnya. Katrina menolak dengan tegas. Alasannya? Yang pertama, Katrina merasa tidak akan cocok dengannya...