Tiga Belas

2.5K 461 180
                                    

Cellestinee 🥰😍

Gue research sebentar di sepanjang perjalanan tadi. Mencari tempat yang bagus buat acara gathering perusahaan. Salah satu pilihan gue jatuhkan ke Tirtaya resort and villa. Selain karena tempatnya yang luas, fasilitasnya juga memadai. Demikian juga layanan internet dan cateringnya, semua sudah diurus tinggal memantau saja. Letaknya nggak terlalu jauh dari titik kemacetan tadi. Pemandangan di sini masih asri dan alami. Segar udaranya adalah obat stres paling mujarab. Sayangnya, kabut yang cukup tebal dan rinai hujan di luar menghalangi indahnya pemandangan saat ini.

"Hatchuu...!" Kava bersin-bersin sejak tadi. Gue baru saja selesai observasi dan booking tempat. Hidungnya Kava udah merah dan meler. Ini pasti gara-gara kehujanan tadi.

"Kamu bersin-bersin terus?"

"Gak apa-apa, Bu. Hatchuuu.." Kava mengucek hidungnya.

"Gak apa-apa gimana! Udah sini," baru aja gue mau geret tangannya buat nyari teh anget, badan Kava terasa panas di telapak tangan gue.

"Kamu nunduk bentar!" perintah gue.

"Buat apa, Bu?"

"Udah buruan!" Banyak bacot nih orang.

Akhirnya Kava sedikit menekuk lututnya, membuat tangan gue bisa meraih dahinya dengan lebih mudah. Gue letakkan punggung tangan gue di sana dan dapat gue rasakan Kava sedang demam.

"Badan kamu panas!" tutur gue.

"Saya tau kalau saya hot, Bu. Gak usah diperjelas lagi."

Gue tabok punggungnya, bisa-bisanya di saat seperti ini masih bercanda.

"Kamu sakit Kava. Kita ke dokter!"

Gue baru balik badan, suara Kava menghentikan langkah gue. "Di sini mana ada dokter, Bu!"

Oh iya.

"Bentar, aku tanya orang dulu!" Gue keluar sebentar untuk mencari keberadaan manusia. Berdasarkan informasi yang gue dapet, satu-satunya pusat kesehatan di sini adalah puskesmas. Ada juga beberapa dokter praktek, tapi letaknya agak jauh. Apalagi hujan masih turun dengan deras. Kava mana bisa nyetir dengan kepala kliyengan kayak gitu. Gue juga gak berani mengemudikan mobil dengan kondisi hari yang udah gelap, mimim penerangan, dan jalanan licin karena hujan.

"Kav?" waktu gue balik ke mobil, Kava tampak lemas gak betenaga. Karena khawatir dia pingsan, gue panggil-panggil namanya berkali-kali. "Kav? Lo tidur? Kava? Jawab gue Kav?"

"Apa sih, Bu manggil-manggil?

"Mending gue yang manggil daripada dipanggil Tuhan." Gue siap-siap menjalankan mobil. "Kita gak bisa balik sekarang, kata bapak tadi ada pohon gede roboh ngehalangin jalan. Kamu gak apa-apa tidur di mobil? Atau kita cari penginapan?"  

"Gak usah, Bu." Kava menggigil.

"Kalau kamu mati siapa yang mau ngurusin? Emang bisa kamu jalan sendiri ke kuburan?"

"Saya punya feeling umur saya masih panjang kok, Bu, soalnya dosa-dosa saya masih banyak." Di saat sakit kayak gini aja pedenya setinggi langit.

"Udah kamu diem aja."

Gak jauh dari Tirtaya Resort and Villa, ada sebuah motel sederhana yang cukup nyaman buat berteduh dari hujan. Resepsionisnya juga baik banget nyedekahin gue obat penurun panas. Hujan hari ini emang gak tau diri. makin malam bukannya ada tanda-tanda langit cerah kembali, angin malah tambah kenceng dan petir menyambar di sana sini. Alhasil kita terpaksa pesen satu kamar biar ngirit. Jadilah gue sama Kava berbagi kamar yang sama.

Step On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang