Berkaitan dengan hujan, cinta hujan, dan turun hujan. Saya pernah menyebut 'hujan' di dalam doa dengan setulus mungkin. Tidak akan saya sebutkan apa yang dimaksud dengan 'hal itu', saya ingin menjaga dengan baik 'hal itu' karena tidak semua manusia menjalani kisah yang sama.
Waktu itu, dari jendela kamar. Saya seorang diri menatap keluar memandang begitu banyak pohon ciptaan-Nya. Di sisi lain, jam sudah mendekati waktu yang mendebarkan. Jikalau hati saya bisa bicara, katanya dia ingin 'hal itu' di skip saja. Tidak buruk, tapi saya tidak bisa menjalaninya dengan sepenuh hati.
Ya Allah, saya minta hujan hari iniiii saja. Diucapkan dengan nada memohon, di sudut kamar, dengan hati yang berharap seutuhnya hanya kepada-Nya. Setiap akan memulai 'hal itu' saya selalu berdoa seperti itu. Mungkin kalian bertanya, apakah Allah kabulkan doa saya. Jawabannya adalah bervariasi. Beberapa kesempatan, Allah kabulkan secara langsung dan saya bahagia luar biasa bisa melewati satu 'hal itu'. Yang penting satu kali terlewati, kedepannya nanti berdoa lagi. Begitu pola pikir saya saat itu.
Setiap hujan turun, saya bisa bebas tanpa perlu memikirkan 'hal itu'. Begitu menyenangkan, saya benar-benar bahagia. Sambil memperhatikan derasnya air langit itu turun, saya terus menerus berterima kasih kepada Allah atas hujan yang diturunkan dengan deras. Saya jadi ingat, saat dulunya benci hujan lalu dengan mudahnya hati ini dibalik menjadi cinta hujan. Memang benar, Dia selalu memberikan yang terbaik dalam segala aspek kehidupan.
Bicara tentang doa, tidak semua Allah kabulkan saat itu juga, pasti Dia memberikan waktu yang tepat. Pada beberapa kesempatan, doa saya ditampung sementara oleh-Nya. Saya percaya, Dia mendengar doa saya. Saat Dia tidak mengijinkan saya untuk berhenti sejenak dari 'hal itu', maka saya menjalaninya dengan baik sambil berharap agar waktu berputar dua kali lebih cepat. Nyatanya, justru kebalikannya. Waktu seolah tidak berpihak kepada saya. Saat itu waktu terasa sangat lambat, bahkan detik pun bergerak menyerupai menit. Saya tahu ini berlebihan, tapi saya yakin kalian pernah merasakannya. Saat sesuatu yang tidak dapat dilakukan sepenuh hati terjadi, waktu pun ikut tidak bergerak dengan sepenuh hati.
Berulang kali saya seorang diri meyakinkan diri ini, mengucapkan kepada hati ini bahwa semua bisa dijalani. Hanya butuh pembiasaan.
Kenyataannya, sesuatu yang terlalu dipaksakan tidak akan dijalani dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Saat itu, saya hanya memikirkan ibu. Bagi saya, ibu adalah bidadari tanpa sayap paling baik. Saya, sebagai anak perempuan sekaligus manusia biasa yang tidak mau mengecewakan. Walau saya tahu, saya sering membuat ibu kurang bahagia. Nyatanya, sebagai seorang anak saya tetap mencintai ibu sepenuh hati.
Bukan hanya ibu, saya juga memikirkan ayah. Beliau yang bertanggung jawab atas saya, perbuatan saya, dan semua tentang saya. Mungkin, beberapa teman saya nyaman dalam 'hal itu' dengan tujuan yang baik. Saya pribadi kalau dengan tujuan yang baik juga pasti nyaman. Tujuan saya baik, sama seperti teman-teman. Tetapi, hati saya tidak pernah tenang. Perihal ayah yang ikut bertanggung jawab terhadap perbuatan anaknya semasa hidup di dunia, saya selalu tidak tenang.
Selalu menimbang, apakah pilihan saya sudah benar?
Selalu bimbang, apakah benar-benar ini yang ayah dan ibu inginkan?
Apakah kehidupan yang seperti ini bisa saya jalani dengan baik?
Nantinya, bisakah saya menjalani 'hal itu' sepenuh hati?
Apakah hati saya masih cukup kuat? Kalau masih, sampai kapan?
Apakah akhirnya saya bisa membahagiakan keluarga saya karena
mengikuti 'hal itu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMBUKTIAN
No FicciónBila rasa percaya belum tumbuh, jawaban terbaik adalah bukti nyata. Begitu pula kepercayaan yang tumbuh dengan proses, dapat hilang dengan mudah, dan tidak mudah kembali. Saya ingin sampaikan, bahwa penolong terbaik untuk diri sendiri adalah diri se...