44| Coming Home

994 100 77
                                    

"YAKIN enggak mau naik pesawat aja? Sembilan jam, loh, To"

Nanda yang sejak tadi sibuk menyiapkan pakaian yang hendak pria itu bawa menegakkan punggung juga. Menyentuh bahu kokoh pria itu sebelum membalikkannya hingga menghadap ke arahnya. Menyentuh kerah kemeja yang melingkar di leher lelaki tersebut, membuat simpul dasi yang semenjak tadi tak kunjung selesai dibuatnya.

"Akomodasi naik pesawat berapa, sih, Nan? Saya takut kalau kemahalan" Vito menyentuh simpul segi tiga di kerahnya, tersenyum pada Nanda, "Makasih"

"Gue juga enggak terlalu paham, sih, sebenarnya. Tapi—mungkin, mending naik pesawat aja, deh. Cuma dua jam, kok, dari Massachusetts sampai Ohio. Lumayan, sampai sana jadi enggak malam dan bisa balik Boston lagi" dia mengasongkan sepotong sandwich kepada Vito, menyuapkannya ke mulut pria yang saat ini sedang sibuk memakai sepatunya dengan begitu telaten, "Lagian ngajak ketemuan tempatnya jauh banget gitu. Apa enggak ada tempat yang lebih jauh lagi, huh?"

"Jangan gitu, ah. Dia udah saya anggap Ibu sendiri, Nanda," tutur Vito mengusap pelan wajah gadis yang tengah melipat wajah di sebelahnya. Mengambil alih sandwich yang Nanda genggam, kemudian memakannya sendiri, "Kamu enggak sarapan?"

"Udah" Nanda beringsut, menatap Vito sambil melipat tangan di depan dada, "Dokter Rini-Dokter Rini itu siapa, sih, To, sebenarnya? Kok, lo sampai bela-belain nyusul dia ke Ohio?"

"Dokter 'kan?"

Nanda mendengkus. Tak tahan untuk tidak merotasikan bola matanya saat mendengar jawaban Vito yang sangat tidak dia butuhkan tersebut. "Anak kecil juga tahu kalau dokter Rini itu dokter, Vito. Maksud gue, alasan lo sampai mau-maunya nyusulin dia ke Ohio itu apa? Motivasinya. Mau ngobrolin apa, sih, sama dokter Rini, tuh?"

"Oh, hehe" Vito menggaruk pelipisnya beberapa jenak, "Sesuatu hal yang sebenarnya agak penting buat saya. Hehe, kenapa? Mau ikut?"

"No. Enggak mau gue duduk sembilan jam lebih Cuma buat ke Ohio" Nanda menjatuhkan punggungnya di kasur Vito yang empuk, "Kemarin temen lo yang Azizi-Azizi itu lamaran, ya? Haha, kocak banget masa lamarannya di kamar mandi"

"Kok tahu?"

Nanda mengagguk. Menegakkan punggungnya kembali. "Gue 'kan follow instagramnya si Azizi, terus, mungkin, karena tahu gue temen lo kuliah, gue masuk daftar close friend-nya, dong. Dan kemarin dia posting foto sama calonnya itu lagi pamer cincin. Background-nya cermin kamar mandi gitu, terus di next stories dia share DM dari orang gitu, yang intinya nyinggung lamaran di kamar mandi. Haha, circle temenan lo emang aneh semua, ya, To"

Vito hanya berdehem sambil mengangguk-anggukan kepala. "Tahu enggak, dia sebenarnya hampir aja jadi kakak ipar saya"

"Hah? Serius? Maksud lo—dia pernah suka Mbak Anin gitu?"

"Hu'um. Tapi yaudahlah, udah lewat ini. Saya ikut senang waktu tahu dia akhirnya bisa sembuh dari patah hatinya sama Mbak Anin, bisa berdamai sama waktu, sama hidup yang banyak bangsatnya ini 'kan?"

Nanda menjetikan jari. "That's right! Kadang, kata rela itu juga butuh ditunggu dan diusahakan. Berat, sih, tapi namanya usaha 'kan?"

"Iya, kamu benar" Vito beranjak dari duduknya, menepuk-nepuk celana bagian belakang yang dia kenakan sebelum meraih tas miliknya yang tergeletak di belakang punggung. Mengulurkan tangan kepada Nanda, "Mau berangkat sekarang? Kelas saya agak pagi hari ini"

"Let's go" Nanda menerima uluran tangan Vito dengan senang hati. Membuka pintu flat yang langsung disambut kehadiran dokter Rini di ambang pintu. Membuat mereka berdua termangu selama beberapa detik, sesaat sebelum suara dokter Rini yang lembut menyapa telinganya.

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang