4| Usai

841 118 0
                                    

Pertanyaan Anin adalah sebuah kesalahan. Kekeliruan yang tak seharusnya wanita itu utarakan. Tidak, bukannya berlebihan. Tapi efeknya benar-benar terasa hingga sekarang—membuat Vito akhirnya hanya mampu terpekur di salah satu meja kafe yang sudah sepi, sebab memasuki jam tutup yang seharusnya.

Sebatang rokok dan juga kopi panas yang tadi sempat ia seduh cukup menghangatkan tubuhnya di tengah kedinginan yang malam ini entah mengapa terasa begitu menyengat. Sangat berkontradiktif dengan kepalanya yang mengepulkan asap-asap tipis tak kasat mata. Barangkali karena hujan di luar sana juga belum mereda—mungkin.

Lonceng di atas pintu berbunyi nyaring yang secara refleks membuat Vito ikut memutar kepalanya ke sumber suara. Mendapati Zahrain, sahabat baiknya, basah kuyub di ambang pintu sambil melepas jaket yang menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya malam ini.

"Gila, deres juga hujannya"

Pria itu menyeret tungkainya ke arah Vito, setelah sebelumnya melempar jaket kulit itu di sudut teras kafe yang sama basahnya. Air yang menghantam pelataran tempat itu sepertinya begitu kuat hingga gaya reaksi yang diberikan tanah sama besarnya mengenai objek-objek di sekitarnya.

"Kok basah gitu kenapa?"

"Kehujananlah. Kenapa lagi emang?"

Legam hitam mata Vito mau tak mau berotasi juga saat Zahrain mengeluarkan jawaban yang jika tak dijawab pun, sebenarnya Vito tak akan rugi juga—jawaban sederhana yang tanpa ditanya pun, Vito tahu alasannya.

"Tadinya mau gue buatin kopi. Tapi karena lo jawabnya kagak bener, niat baiknya jadi gue cancel. Sorry, brother"

Zahrain tidak menjawab. Memilih mereguk kopi Vito di atas meja hingga tandas lalu memasang tampang tak berdosanya pada pria itu. Menaik-turunkan alisnya menyebalkan. "Ada kopi lo, santai"

"Anjir"

Zahrain tergelak. Beberapa lama sebelum mengambil bungkus rokok Vito dan menyalakan rokoknya. Mengisapnya sekali, kemudian membiarkan asapnya membaur bersama udara malam ini.

"Nyari yang jualan seblak jam segini di mana, ya, Vit? Gila anjir, si Fio makin ke sini makin aneh aja minta-mintanya," tutur Zahrain. Dia menjatuhkan dirinya di kursi sebelah Vito, mengelap tubuhnya dengan handuk yang tadi disodorkan oleh sahabatnya, sebelum akhirnya melepas juga pakaiannya.

"Jorok, anjir. Ini ada Chika di sini"

"Lah, belum dijemput dia?"

Vito menggeleng. Menyeret tungkainya ke arah pantry untuk meracik kembali dua kopi untuk dia dan juga Zahrain. "Emang kayanya mending di sini dulu, deh, Ran. Gue enggak menjamin kalau di rumahnya, dia akan aman dari media. Kaya yang gue bilang, Mbak Aya sama Mas Putra bukan orang sembarangan"

Di tempat duduknya, Zahrain mengangguk-angguk saja. Mengamati langkah Vito yang mendekat ke arahnya dengan nampan berisi dua cangkir kopi dan raisin. "Tapi, Vit, cepat atau lambat, media juga pasti akan tahu kalau Chika emang ada di sini. Lihat aja kejadian tadi siang. Media segitu banyaknya di depan. Nanti efeknya, juga ke nama baik kafe ini" Zahrain menyesap kopinya, "Gue enggak mau campur tangan kalau itu kejadian"

"Lo tenang aja. Gue yang bakal tanggung jawab" Vito meletakkan cangkir kopinya lagi, "Chika anak baik—gue tahu itu dan gue kenal dia sejak lama. Yang harus kita cari di sini itu siapa yang nyebarin video pribadinya dia sama Gita supaya nama dia bisa bersih. Ya seenggaknya, biar dia enggak terus dipojokkan gitu"

Zahrain kembali menggerak-gerakan kepalanya;mengangguk-angguk. Menyesap kembali kopi yang Vito sajikan guna menetralisir rasa dingin yang memeluk lekat tubuhnya sejak tadi.

"Ya udah, Vit. Kalau gitu gue lanjut jalan lagi. Mau cari pesenan yang maha mulia dulu. Kasihan juga kalau dia nunggu kelamaan di rumah"

"Iya. Hati-hati, Ran. Salam ke Fiony"

"Yoi. Ini jaket lo gue pakai dulu, ya? Sekalian, deh, lo cuciin jaket gue. Ntar gue kasih gocap"

"Lo pikir gue babu lo?"

"Bercanda, cintah" Zahrain menyentuh dagu Vito dengan jari telunjuknya, dan buru-buru di tepis oleh lelaki itu. Demi apapun, tingkah Zahrain barusan membuatnya ingin meluapkan rasa mualnya sekarang.

"Jijik!"

Tawa Zahrain menggelegar, sebelum akhirnya hilang di balik pintu kaca yang kembali tertutup dengan rapat. Sedangkan Vito juga langsung naik ke lantai atas. Jam sudah sangat larut dan dia harus memastikan kalau Chika telah tertidur lelap.

Belum juga dia benar-benar melangkah naik, sosok yang tadi hendak ia pastikan keadaannya sudah berdiri di hadapannya. Di ujung anak tangga dengan piyama serta sebuah, hey, kopor?

"Loh, Chika? Kamu mau ke mana?"

Gadis itu tidak langsung menjawab. Hanya menggigit bibir bagian dalamnya tipis sambil memerhatikan Vito secara rinci. Seumur hidup di tatap oleh orang lain, baru kali ini dia tak bisa membaca secara jelas makna tatapan magis serta manis milik seorang Yessica Tamara.

Bunyi lonceng kembali berdenting. Membuat keduanya secara kompak menoleh ke arah pintu menyambut kehadiran dua orang, pria wanita, yang sangat mereka kenali siapa mereka—Aya dan Putra.

"Aku mau pulang, Mas"

Setelah menabrakan irisnya dengan iris Putra dan Aya selama beberapa lama, akhirnya dia kembali mengalihkan atensinya kepada Chika. Gadis itu sudah bersuara kendati pelan dan samar—nada yang belakangan mendominasi pendengarannya setiap kali berbincang dengan Yessica Tamara.

"Aku rasa, rumah emang tempat di mana seharusnya aku ada. Enggak apa-apa 'kan, kalau aku pulang?"

Jangan. Kamu enggak boleh pulang. Di sini aja, sama saya.

Jangan berharap sekelumit permintaan itu keluar dari mulut Vito yang terkunci rapat karena respon yang pria itu berikan hanya berupa anggukan singkat sebagai tanda persetujuan, sebab pada akhirnya dia memang tak akan pernah bisa memaksa Chika menetap ataupun menjadikan tempat ini pulang selamanya.

"Terima kasih, ya, Mas, dua harinya. Terima kasih udah jaga privasi saya dari media"

Vito kembali mengangguk. Menaikan bingkai kacamata yang ia kenakan agar naik ke posisi semula kemudian mengulas senyum tipis. "Sama-sama, Chika"

"Chika, ayo"

Chika menoleh ketika suara Aya memanggilnya untuk mendekat. Menoleh kembali ke arah Vito selama beberapa lama, membiarkan netra keduanya saling bertumpang tindih cukup lama. Menyelami apa-apa saja yang sebenarnya ingin sekali mereka sampaikan sekarang—mengenai beberapa hal yang tak pernah keduanya utarakan.

"Sekali lagi terima kasih, Mas. Aku permisi"

Vito kembali mengangguk. Melempar atensinya guna mengikuti kepergian Chika bersama dengan dua kakaknya dari kafe miliknya ini. Dadanya bergemuruh, menolak dengan riuh. Menyuruhnya untuk berlari dan menahan Chika untuk tetap di sini dan tidak pergi.

Tapi Vito juga sadar diri. Dia ini siapa? Tidak ada hak apapun dalam diri Vito yang mampu digunakan untik menahan kepergian Chika kali ini. Hingga ia hanya mampu terduduk di kursinya lagi, mengamati kepergian gadis itu yang rasa-rasanya sangat tak rela dia lepas begitu saja.

Ada yang menolak untuk mengiyakan permintaan Chika, ada yang memaksanya untuk tetap tinggal di tempat ini. Seperti gemuruh yang sejak kemarin menuntut pemahaman.

Tentang getaran yang tak kuasa dia sembunyikan.

...

Hei!

Maaf, kelamaan enggak update jadi aneh banget gini. Pusing banget banyak tugas, hey😭

Kalian apa kabar, nih? Semoga baik-baik aja dan selalu dikasih semangat dobel sama Tuhan. Jangan lupa jaga kesehatan selalu✨✨

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang