37| Tentang Ambisi dan Sebuah Hubungan

676 102 34
                                    

DIA hanya bisa terdiam saat punggung itu perlahan menghilang. Mengiringi suara gerendel pintu yang berputar, menandakan terkuncinya rumah itu untuk dirinya hari ini-atau mungkin akan berjalan selama beberapa hari ke belakang. Tidak ada yang bisa Vito lakukan kecuali menarik napasnya dengan begitu dalam, mengumpulkan oksigen yang ia hirup sedemikian banyak guna menetralisir sesak di dalam dadanya sana-saat untuk kesekian kalinya, dia mencederai perasaan perempuan yang dia usahakan kebahagiaannya, karena Vito yang selalu merasa bahwa tindakannya adalah benar-tanpa keluputan.

"Aku enggak tahu kenapa bisa ngerasa sesakit ini. Enggak ada yang salah sama kalimat yang kamu buat, Mas. Pun, dengan langkah yang kamu ambil beberapa minggu lalu. Soal pendidikanmu, soal cita-citamu, aku enggak akan bisa buat menghalang-halanginya. Biar bagaimana pun, kamu tetap berkuasa atas diri kamu sendiri. Tapi, Mas, waktu kamu bilang kamu itu siapa dalam kehidupan aku, aku ngerasa sakit, benar-benar sakit"

Kepala Chika yang tertunduk dalam, satu dua tetes air mata yang membentuk titik di teras rumah ini, masih begitu membekas di dalam kepalanya.

"Waktu kamu masih mempertanyakan siapa kamu dalam hidup aku-menganggap kamu bukan siapa-siapaku, berarti waktu itu juga kamu menganggap kalau aku bukan siapa-siapa kamu" wanita itu menyeka air mata di pipinya, memalingkan wajah ke arah lain sambil tertawa hambar, "Mungkin aku yang terlalu berlebihan menyikapi semua hal yang udah terjadi di antara kita. Benar, kita memang bukan siapa-siapa. Dan sayangnya aku melupakan itu semua"

"Chika, buk-"

"Aku masuk rumah dulu, ya, Mas. Makasih udah mau direpotin selama ini"

Vito mengembuskan napasnya dengan begitu berat. Setelah sekian lama membeku di posisi yang sama, kali ini ia memberanikan diri menyeret tungkainya ke arah depan. Menyentuh kenop pintu utama rumah Chika dengan kanan tangan, sedangkan yang satunya lagi menyentuh permukaan pintu cokelat berbahan kayu beringkai di depannya. Mencoba merasakan sisa-sisa kehangatan akan kehadiran Chika di balik sana, berharap wanita itu masih mau menahan langkahnya.

"Chika, saya minta maaf. Saya enggak ada maksud buat begitu" dia berbisik lirih, seolah-olah di depannya itu sedang ada Chika yang mendengarkan. Meski yang dia dapati hanya udara kosong yang menyelimuti pintu kayu di hadapannya, "Setelah apa yang terjadi, saya tahu, enggak seharusnya saya malah memilih lari dengan embel-embel cita-cita padahal ada masalah di antara saya dan kamu yang belum diselesaikan. Chika, saya minta maaf"

Tidak ada jawaban. Jelas. Wanita itu mungkin sudah beranjak dari balik pintu. Tak ada gunanya juga menahan langkah, mendengarkan Vito dengan semua rentetan penjelasannya. "Saya enggak tahu kamu masih ada di balik pintu atau enggak. Tapi seandainya iya, kamu mau 'kan, Chika, maafin saya? Kamu penting buat saya-sangat. Lebih dari seorang Yessica Tamara yang senang manusia-manusia puja, kamu adalah Chika sepuluh tahun lalu yang pertama kali saya jumpai di lapangan sekolah. Sama istimewanya, sama sempurnanya. Chika, mau, ya, maafin saya?"

Hening. Tidak ada suara yang Vito dengar kecuali gesekan daun pohon palm di tepi taman. Bukan suara halus nan lembut milik Chika, yang ingin sekali di dengarnya hari ini.

Belasan menit berlalu, tak ada apa pun yang terjadi kecuali lengan kirinya yang basah karena embusan angin yang kencang menyeret serta hujan yang perlahan turun.

"Chika, sudah mau hujan. Saya izin pulang, ya? Vitaminnya jangan lupa diminum, makannya dijaga. Enggak boleh begadang, enggak boleh kecapekan. Saya-sayang sama kamu. Lebih dari sekadar yang kamu tahu. Saya juga enggak pernah menganggap kamu sebagai orang asing. Benar-benar enggak pernah. Sungguh, Chika, kamu sangat istimewa buat saya, kalau kamu mau tahu. Barangkali, cara saya yang kemarin itu salah-benar-benar salah. Tapi kamu mau 'kan, Chika, maafin saya?"

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang