35| Batas

699 95 36
                                    

ADA yang pernah mengatakan, jika patah hati terberat manusia adalah ketika sadar jika orang tua sudah mulai menua sedangkan kita belum bisa menjadi apa-apa. Ada yang juga pernah mengatakan, jika rumah sebaik-baiknya kembali adalah dekapan hangat orang tua yang tak pernah alfa saat kita gagal ataupun menjadi juara.

Jika demikian, berarti dia tengah mengalami patah hati yang paling berat sebab mereka yang selalu ia usahakan bahagianya tak lagi mampu dia lihat dan tak lagi mampu ia rasakan dekapannya—saat gagal ataupun menang. Setelah belasan tahun tenggelam dalam luka dan patah hati karena sang Ibu tiada, tahun ini, Tuhan kembali mengambil salah satu alasannya menjadi bahagia dengan cukup tiba-tiba. Membuatnya harus berbesar hati, melakukan pembiasaan-pembiasaan setelah melepas ayahnya pergi.

Berat, jelas. Tidak ada perpisahan yang tak memberatkan, tak ada kematian yang tak menyebabkan kesedihan. Pun, demikian dengan Vito yang harus melapangkan dadanya, menerima semua ketetapan Tuhan dengan hati sebesar-besarnya. Mulai kembali berjalan, dengan kekosongan-kekosongan yang barangkali tak akan lagi bisa diisi oleh siapa pun di sana.

Kesedihan, pahitnya perpisahan. Hah, Vito lelah menghitung berapa banyak hari yang dilaluinya dengan mengusahakan agar dua hal itu segera terlepas dari ingatannya. Agar hatinya benar-benar lapang, agar kata rela benar-benar Tuhan hadiahkan. Berhari-hari berlalu, namun semuanya masih tetap sama. Raganya memang bergerak, tapi jiwanya tetap saja tertinggal di belakang sana. Menangisi yang telah selesai dan usai, menangisi yang telah tiada dan berbahagia.

Vito kadang tak mengerti mengapa dadanya bisa sesempit itu menyangkut perpisahan dan kerelaan. Seolah-olah, Tuhan memang menakdirkannya sebagai manusia yang tak pernah ikhlas dan mau menerima kenyataan. Membuatnya tersiksa, terkungkung dalam duka dan luka yang tak pernah menguap sedari dulu.

"Butterbeer caramel frappuccino additional hazelnut syrup dua, Bos"

Vito yang berdiri di balik meja produksi terhenyak seketika. Menoleh ke arah Dimas, salah satu pegawai Kopinesha, yang baru saja kembali membawa nampan kosong di depan perut.

Setelah hari beratnya itu, Vito memutuskan untuk mencari kesibukan baru. Selain mengantarjemput Erzo bersekolah—yang berarti dia harus pulang-pergi Jakarta-Bandung dari hari Senin hingga Jumat, dia juga turun langsung dalam membuatkan pesanan pelanggan. Meringankan beban anak-anak buahnya, termasuk Christy di dalamnya, yang beberapa hari nampak lebih kuyu dari biasanya.

"Iya. Sama apa lagi, Dim?"

"Vanilla latte with a shot caramel sauce"

Tentu, itu bukan suara Dimas. Tapi Azizi yang tiba-tiba saja berdiri di sebelah pria berusia 22 tahun itu sambil memasang senyum sebaik mungkin kepada Vito yang justru merotasikan bola matanya dengan amat malas.

"Dua, ya, Vit. Buat gue sama Angel" Zee menyeret tungkainya, memasukkan bahan-bahan keperluan kafe ke  dalam lemari pendingin, "Sama raisin, dong, kalau bisa. Kasihan anak orang semalam enggak tidur karena skripsian, hehe"

"Enggak ada akhlak emang santan satu ini" Vito berdecak, meski tetap menuruti apa yang Zee katakan. Sedang pemuda itu hanya tertawa, sibuk dengan aktivitasnya, "Sama apa lagi?"

"Udah itu aja. Nanti tekor kalau gue kebanyakan minta, hehe" Azizi berdiri, melipat tas belanjanya kemudian menyimpan di bawah meja, "Semalam sampai jam berapa?" Azizi menatap wajah samping Vito yang tengah sibuk membuat pesanan pelanggan sekaligus pesanan Azizi sambil menaikturunkan alisnya.

"Sampai jam berapa apanya?" Alis Vito bertaut, "Emang gue ngapain, Anjir?"

"Halah," Azizi mencebik, "Semalam lo nginep rumah Chika 'kan? Jangan dikira gue enggak tahu, ya, hehe"

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang