6| Her Problems

758 114 25
                                    

"SATU lagi, Mas. Kurang dari delapan bulan lagi, akan ada anggota baru di keluarga kita"

"Hm?"

"She's pregnant"

Dia tidak mengerti mengapa rangkaian kalimat yang Aya lontarkan terus berdengung di telinganya sana. Memenuhi rongga-rongga kosong di dalam isi kepalanya, hingga penuh sesak oleh berbagai hal yang sulit untuk dia jabarkan. Ada ketidakpercayaan serta kekecewaan yang entah mengapa begitu menghujam relung dadanya sana. Seolah menghentak Vito agar kembali dari harapan-harapan yang dulu sempat ia bangun dan kembangkan-tentang kemungkinan untuk memiliki Chika, setelah sebelumnya harus usai sebelum memulai.

Vito juga tak paham. Mengapa perasaan kecewa itu dengan kuat menguasai dadanya. Padahal, dia ini siapa? Hanya seorang penjual kopi yang diberikan keberuntungan lebih oleh Tuhan dengan mengenal seorang Yessica Tamara yang luar biasa. Tidak ada yang istimewa, sama sekali tidak ada yang luar biasa dari diri Vito hingga dia pantas disandingkan dengan Chika. Sampai kapan pun, harusnya dia menyadari itu. Kisahnya bersama Chika tak akan pernah terangkai sempurna.

Tidak akan pernah.

"Mmppthh-"

Vito lekas beranjak ketika Chika menyingkap selimut cokelat yang menutup separuh badannya. Berdiri di samping wanita itu lalu memijit pelan tengkuknya. "Mual banget?"

Chika tidak menjawab. Sesuatu di dalam sana terus saja bergejolak, mengocok isi perutnya dengan sangat kuat.

"Mbak Aya sama Mas Putra sedang ke rumah untuk ambil pakaian kamu. Maaf, kalau saya jadi lancang dengan ada di ruangan kamu, Chika," Vito menjatuhkan dirinya di tepian ranjang. Menatap wajah pasi Chika yang entah sejak kapan meredup cahayanya. Wanita itu juga menjadi tidak banyak bicara meski sekadar basa-basi saja, "Saya kasih minyak angin, ya?"

"Enggak usah" Chika melengos. Tidak menatap wajah Vito yang begitu teduh dan berpaling ke arah jendela yang basah karena diembuni titik air hujan yang turun cukup deras di luar sana. Ada berbagai kecamuk di dalam dadanya sana. Tentang penerimaan dan keikhlasan yang hingga detik ini belum mampu dia maknai secara keseluruhan. Sederhananya, ada penyalahan dari jalan yang Tuhan tulisakan, "Harusnya kamu enggak usah datang, Mas. Biar dia mati aja"

"Chik..."

"Kenapa? Kamu enggak tahu rasanya. Jadi jangan ngomong apa-apa"

Suaranya yang belum seutuhnya keluar kembali teredam di pangkal lidah. Meloloskan helaan napas singkat dan anggukan kepala yang pelan. Serta sebuah gumaman. "Maaf"

Pintu ruang rawat Chika terbuka. Aya dan Putra muncul dari balik pintu dengan tas tenteng berisi pakaian Chika yang mereka ambil. Helaan napas keluar begitu kasar dari hidung Aya yang baru terbebas dari masker. "Banyak media di luar. Bener-bener banyak. Enggak nyangka kalau beritanya bakal nyebar secepat ini," tuturnya. Ia memijit pelipis matanya sesaat. Menetralisir berbagai kecamuk di dalam kepalanya yang tak kunjung reda sejak skandal sang Adik terbuka di mata publik. Ada saja yang media beritakan, "HP kamu mana? Kita harus kasih tahu Gita. Dia punya andil dalam masalah kita. Biar gimana pun, kalau enggak ada dia, masalahnya enggak bakal serunyam ini"

"Enggak ada"

"Chik?"

"Apa, sih, yang kalian harapkan dari Gita, tuh?! Anggap aja dia udah mati! Enggak usah cari-cari dia lagi. Lagian masalahnya akan cepat beres kalau aja tadi kalian enggak bawa aku ke rumah sakit. Biarin dia mati"

"Chika!" Aya tanpa sadar meninggikan suaranya. Mencengkram lengan atas adiknya yang dibalut pakaian biru langit rumah sakit, "Kita enggak pernah dididik untuk lari dari masalah kaya gini. Kalau kamu berani berbuat, harusnya kamu juga berani tanggung jawab. Kalau kaya gini, apa bedanya kamu sama Gita yang katanya brengsek itu?"

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang