20| Untitled

707 103 20
                                    

"DIA siapa?"

Anin menyirit, melirik sekilas pergelangan tangannya yang digenggam tak begitu erat oleh Azizi. Tepat setelah Boby melangkahkan kakinya keluar dari kafe, pria itu bergegas naik dan menghampiri Anin yang masih tak paham ke mana perbincangan yang akan Azizi bawa.

"Dia siapa?" Sambil melepaskan genggaman tangan Zee, kemudian merunduk untuk melepaskan kaus kaki putranya yang tak sempat dia lepas, "Mas Boby?"

Zee berdeham. "Kalian—kelihatan dekat"

"Masa, sih?" Anin melangkahkan kedua kakinya ke sisi lain kamar, meletakan tas gamblok Erzo di atas sofa panjang di dekat pintu, "Kami baru ketemu tadi. Apa iya kami udah sedekat yang kamu lihat?" Tanyanya lalu menoleh kembali kepada Zee, "Kayanya kamu, deh, yang udah dekat sama anak baru itu. Hari pertama aja udah nganterin dia pulang 'kan, Zee?"

Kali ini alis Azizi yang dibuat bertaut. Untuk beberapa lama, dia hanya mengerutkan keningnya sembari mengingat-ingat apa yang Anin katakan. Kapan dia mengantar Christy pulang?

"Lupa?" Anin tertawa pelan, "Biar saya bantu nginget-inget. Waktu Gita meninggal hari itu"

Ah—iya! Zee ingat sekarang. Saat Christy dengan polosnya meminta gaji pada hari pertama bekerja di Kopinesha, ketika gadis itu menunggu bermenit-menit di depan kafe bersama beberapa rintik hujan sisa-sisa sorenya.

"Inget 'kan?" Anin meraih ujung pintu kamar itu, "Udah, ya, Zee? Saya mau istirahat. Besok mau langsung ke Bandung pagi-pagi karena Erzo enggak libur. Selamat malam"

"Kak Azizi, awas. Di depan ada orang"

Kaki Azizi yang semula begitu kuat menekan pedal gas, secara refleks langsung berganti menginjak rem di bawah sana. Menghentikan laju mobilnya yang dia tak tahu sudah secepat apa, andai saja Christy tak buru-buru menegurnya.

Satu helaan napas terlepas dari hidung bangir itu, mengikuti kepergian laki-laki yang mengumpat ke arah mereka dengan pandangan mata. Menarik napas dalam, kemudian melepaskannya dengan amat berat. Dia tidak tahu mantra apa yang telah Anin berikan kepadanya selama ini hingga segala hal tentang wanita itu selalu mampu merenggut kesadarannya. Menenggelamkan Zee pada relung-relung kegilaan yang dasarnya tak begitu jelas.

"Nih!"

Zee menolehkan kepala ketika sebuah botol minum mampir pada penglihatannya. Mengernyitkan alisnya tak paham, kemudian bertanya, "Apa?"

"Diminum. Gue lihat dari pagi lo belum minum air putih" Christy menaikan bahunya, "Gue kira itu yang buat lo jadi kurang fokus tadi"

Ah—ya. Bahkan Zee baru ingat jika seharian ini dia belum menyentuh air putih sama sekali.

Menerima uluran air putih itu, lalu mengulas senyumnya begitu tipis. "Thanks"

Air putih yang baru saja ia reguk isinya hingga tandas mengaliri tenggorokannya dengan begitu lancar.  Memberi rasa dingin pada kepala hingga hatinya yang mengepul sejak beberapa saat lalu. Rintikan hujan yang semula begitu lembut menyentuh atap mobil miliknya perlahan berubah menjadi pukulan-pukulan yang cukup kuat. Menghantam atap hingga kaca depan dengan begitu kuat, kemudian turun membasahi badan mobil yang berwarna hitam mengkilap.

Zee mengembuskan napas dengan kasar—sekali lagi, menghantamkan punggung kokoh itu pada sandaran jok dengan cukup keras. Menatap lamat-lamat jalanan di depan sana yang terasa buram, sebab rintik rinai di hadapannya.

Dia tolehkan pandangannya ke arah kiri. Tidak ada yang berubah, Christy masih tetap sibuk dengan buku catatan serta gawai di genggamannya.

Benarkah anak kecil ini yang Anin maksudkan sebagai kecemburuan-kecemburuan itu? Hah, konyol sekali. Christy tidak mungkin menyukainya saat dia sendiri sedang terikat dengan seorang pria. Lagipula, mereka tak pernah sedekat yang Anin kira.

Someone Who Loving You [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang