《■■■■■》
Kegemparan di kluster Vaggard kian membeludak. Ancaman maut mengintai di bawah bayangan, meliliti ekor baju setiap insan dan menerkam dalam keremangan. Satu persatu nyawa melayang tanpa peringatan dan belas kasihan yang berujung penyesalan.
Louise dan Abe menemukan jasad si kembar Ziggy dan Zagga dalam kondisi yang mengenaskan. Semerbak bau darah pekat mememuhi ruangan arsip yang meninggalkan hawa muram tak mengenakan, sedangkan cipratan darah di lantai 2 menyisakan kengerian tragis bagi semua orang yang melewatinya.
"Sial! Sial!" rutuk Abe di samping Louise yang gemetar.
"Tidak mungkin ... dalam waktu singkat ini ..." Louise nyaris tak bisa menyelesaikan kalimatnya ketika dia memandangi luka menganga berbentuk melintang di wajah rusak Zagga, dibaliknya mengintip daging lembek berbau amis. "Teman-teman kita tewas, teman-teman kita Abe! Kapan semua ini akan berakhir?!" Gelombang kemarahan mendadak tersembur dari suara Louise yang meninggi.
Dia menoleh ke belakang dan menatap wajah Abe yang cemas.Sembari merentangkan tangan menenangkan, Abe mendekati temannya itu. "Tenang ... tarik napasmu dalam-dalam. Aku yakin kita akan menemukan jalan keluarnya, oke?"
Louise mengerutkan dahi. "Bagaimana aku bisa tenang? Odoraku sudah pergi selama-lamanya dan satu persatu teman kita berjatuhan," katanya dengan napas memburu.
Abe menggeleng pelan. "Kau kira aku tidak merasa kehilangan? Kita semua merasakannya, kau tidak sendiri, Louise. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mencari barang bukti seperti yang sudah kita lakukan sebelum-sebelumya. Mungkin saja kali kita bisa lebih beruntung?" Ujar Abe sambil menarik senyum kecil menguatkan. Sejujurnya dia juga sama penatnya dengan apa yang dirasakan Louise. Terlebih lagi orang terdekatnya di Anthelier ini, Rowena sudah tiada. Terdapat semacam rasa bersalah dan kehilangan yang bersangga di pundaknya.
"Kita tidak akan menemukan petunjuk apa pun yang berguna, semuanya tidak berarti apa-apa," balas Louise. Dia mengembuskan nafas kesal.
"Apa maksudmu? Bukti-bukti itu bisa menuntun kita lebih jauh untuk menemukan pelakunya. Jangan mudah putus asa seperti itu dong!" Geram meladeni sikap Louise yang berubah lembek, Abe memutuskan untuk mengurusi mayat-mayat si kembar demi mencari barang bukti atau semacamnya. "Jadi begini saja, sekarang kau mau membantuku atau tidak?" tanyanya sambil berkacak pinggang.
Hening selama beberapa saat. Abe menunggu jawaban yang sepertinya sia-sia untuk diharapkan.
"Baiklah, kulakukan saja sendiri," desah Abe.
Selanjutnya, citra suara yang terlontar dari suara Louise berubah, terkesan begitu dingin dan nyaris tanpa emosi. "Bagaimana jika giliranmu tiba?" katanya lirih.