Harus Berpisah

40 3 0
                                    

"Sayang, kamu kenapa?" Tanya Raya pada Gerry yang diam saja sejak dari caffe tadi. "Sayang, aku ada bikin salah apa emang, sampai kamu diemin kayak gini." Raya terus menggerutu sambil menggoyang-goyangkan lengan Gerry yang tengah memegang kemudi.

Gerry menarik tangannya. "Jangan kayak gini, bahaya!"

"Ger! Kamu turunin aku aja deh daripada kayak gini!" Raya yang mulai hilang kesabaran berteriak penuh amarah.

Ckit! Dugh!

Raya harus merelakan keningnya terbentur karena rem dadakan yang dilakukan Gerry. "Ger! Kamu gila ya! Jangan kayak gini kalau udah bosen sama aku! Tinggal bilang baik-baik. Kalau kamu pengen putus aku nggak masalah!" Raya segera membuka seat belt dan keluar dari mobil saat itu juga. "Dasar gila!" Umpat Raya yang keluar dengan tergesa.

Gerry segera keluar dari mobil mengikuti Raya. Dia segera meraih tangan Raya begitu gadis itu berada dalam jangkauannya.

"Apa lagi sih!" Raya menghempaskan tangan Gerry yang baru saja menahannya.

"Masuk mobil!" Gerry menarik Raya untuk membawanya kembali ke dalam mobil.

"Apalagi, ha!"

Gerry sama sekali tak menggubrisnya. Dia tetap menarik Raya dan menghempaskannya ke jok depan setelah itu menguncinya agar Raya tak pergi dari sana.

"Kamu gila! Lepasin nggak!" Raya terus memberontak hingga akhirnya Gerry masuk dan duduk di kursi kemudi. Dia diam membiarkan Raya berteriak-teriak.

Raya dilanda panik, dia ketakutan hingga nyaris mengeluarkan air mata.
Gerry tiba-tiba meraih sebelah tangannya dan dicengkeram kuat.

"Lepasin dong Ger. Kamu tinggal bilang sama aku apa masalahnya, salahku di mana, aku kudu gimana?" Raya mengucapkannya dengan bibir bergetar serta buliran bening yang mulai lolos dari sudut matanya.

Gerry menghela nafas. "Raya, aku pengen tanya sesuatu sama kamu?"

"Apa Ger, tanyain aja. Aku pasti jawab kok. Tapi habis itu kamu jangan marah ya. Please. Aku beneran takut lihat kamu yang kayak gini."

Gerry kembali menghela nafas. "Apa perasaan kamu sama aku?"

"Ha?!"

Dan lagi Gerry harus menghela nafas. Sepertinya emosi sedang menguasai dirinya. "Raya aku tanya, apa perasaan kamu buat aku!?"

"Aku, aku suka Ger sama kamu. Kamu udah tahu kan sejak awal kita jadian," jelas Raya dengan wajah memelas.

"Kamu tadi minta putus kan?"

Raya menggeleng. "Aku cuma takut dengan sikap kamu yang tiba-tiba kayak gini sayang. Tapi aku nggak beneran pengen putus."

"Tapi nggak masalah kan kalau kita putus?"

Raya kembali menggeleng. "Aku nggak pengen Ger. Aku beneran suka sama kamu. Aku nggak pernah kayak gini sebelumnya?"

Gerry tersenyum miris. "Benarkah? Bukannya kamu ganti pacar semudah ganti baju?"

"Enggak Ger. Sama kamu enggak." Tangan yang semula dicengkeram Gerry itu sudah terlepas berganti dengan Raya yang memeluk erat lengan Gerry dengan kepala yang bersandar di sana.

"Kamu cinta sama aku?" Tanya Gerry dengan menatap dalam kedua mata Raya.

Raya mematung. Cinta? Seperti apa cinta itu?

"Ck. Kamu nggak bisa jawab kan?" Setelah melihat keraguan di mata Raya, Gerry segera memalingkan wajahnya.

Raya masih diam di tempat. Berusaha menemukan jawaban dari dalam lubuk hatinya.

"Ya udah, aku terima permintaan kamu," ucap Gerry lagi.

"Apa?" Lirih Raya.

"Kita putus."

Raya menggeleng. "Ger, kamu jangan bercanda deh. Nggak ada lho yang pernah bercandain aku kayak gini."

"Aku emang enggak lagi bercanda."

"Ger... Aku nggak suka ya bercanda yang kayak gini. Kamu lagi nge-prank aku ya? Aku nggak lagi ulang tahun sayang." Raya masih tak mau mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

Gerry POV
Kalau boleh jujur aku juga nggak pengen putus. Aku cinta sama kamu Ray. Melihatmu menitikan air mata sungguh membuat hatiku terluka.

"Kenapa sih Ger, salahku apa?"

Aku memalingkan wajahku. "Aku antar kamu pulang ya," ucapku tanpa sedikitpun menatap wajahnya.

"Nggak, aku nggak mau!!" Raya menangis histeris di sampingku. Aku hanya mampu mendiamkannya. Sebenarnya ingin sekali kurengkuh tubuhnya, namun kutahan. Aku tak mau goyah dan berubah pikiran.

Perkenalkan, namaku adalah Gerry Mahardika. Aku adalah siswa kelas XI SMA. Beberapa waktu yang lalu aku adalah kekasih dari Raya Anggita, gadis cantik yang kini duduk di sebelahku. Namun sekarang sudah bukan lagi.

2 bulan pacaran dengan Raya, hariku begitu menyenangkan dan penuh cinta. Punya pacar manja dan nemplok kemana-mana sepertinya tak semengerikan katanya.

Lalu, adakah yang tahu kenapa aku tiba-tiba memutuskan Raya? Sebenarnya ini tidak tiba-tiba. Sejak awal jadian, aku bahkan sudah siap untuk hari ini. Aku tahu bagaimana Raya sebelum mendekatinya. Seorang play girl yang suka gonta-ganti pacar. Namun entah mengapa aku begitu tertarik padanya. Suka memutuskan hubungan seenak jidat dan anti yang namanya balikan. Sebagian besar informasi ini sebatas katanya.

Bulan pertama pacaran, hari-hariku diliputi cemas. Cemas kalau Raya tiba-tiba minta putus, padahal aku merasa makin menemukan kecocokan dengannya. Saking takutku jika tiba-tiba Raya minta putus, aku sampai tak pernah membawa Raya di hadapan teman-temanku, tujuannya adalah agar tak ada yang tahu jika hari patah hatiku tiba. Dan anehnya Raya juga tak pernah memintaku membawanya ke dalam zona pertemananku.

Bulan kedua berjalan. Kami masih aman-aman saja. Selalu berdua tanpa mencampuri urusan satu sama lain. Hingga akhirnya hari ini aku ingin sekali memperkenalkannya kepada teman-temanku, karena aku merasa hubunganku dengannya tak seperti rumor tentang Raya yang ku dengar selama ini.

Namun sayang, melihat bagaimana Rona menggambarkan sosok Raya membuat rasa takutku kembali datang. Aku takut akan tumbuh rasa cinta yang semakin dalam jika aku terus menjalin kasih dengannya,  sehingga membuatku susah move on jika hubunganku dengannya telah berakhir. Apalagi saat Rona membahas tentang mantan yang masih tergila-gila pada Raya, aku benar-benar merasa tak nyaman. Aku takut jika suatu saat aku akan berada di posisi itu.

Sebenarnya aku masih ragu akan keputusanku, hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Raya, adakah rasa cinta darinya untukku? Melihat keraguan di matanya dan keputusannya untuk bungkam, aku pun membulatkan tekat untuk segera mengakhiri hubunganku dengannya.

"Turunin aku di sini!" Teriak Raya di tengah tangisnya.

Aku diam dan terus memacu mobil hitamku.

"Turunin aku bilang!"

"Ray, kamu diem bisa nggak sih!"

Isaknya terhenti. Dia menegang, terkejut dengan teriakanku padanya. Namun air mata tak juga berhenti keluar dari matanya.

Ray, apakah kamu selalu seperti ini setiap mengakhiri hubungan dengan pacar-pacarmu yang dulu?

Aku menghentikan mobilku di depan rumah besarnya. Raya segera keluar dari mobil dan berlari memasuki rumahnya tanpa pamitan, pelukan dan ciuman yang selama ini selalu ia berikan.

Ray, semoga aku bisa segera melupakanmu.

Kembali ku injak pedal gas dan segera kutinggalkan rumah gadis cantik yang sudah menghuni sebagian ruang di hatiku.

TBC.
Part ke 2 udah putus aja?
Ada yang pengen tahu kelanjutannya?
Klik bintang dong biar author semangat.
Spam komen juga dong, biar makin ngalir nulisnya.

Susah Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang