(1) Rumpang

317 168 185
                                    

Suara nyaring lagi-lagi mengguncang gendang telingaku. Sakit sekali. Aku mengatup mulut rapat-rapat, menyumbat kedua lubang telingaku dengan jari. Meski begitu, suaranya masih terdengar nyaring seakan tak mau pergi.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kamu ngelakuin ini sama aku, Mas!"

"Diam!" Satu tamparan lagi berhasil mendarat di pipi ibuku yang seketika membuatnya tersungkur di lantai.

"Padahal dulu kamu lembut sekali, Mas. Kenapa sekarang kamu berubah? Kenapa!?" Teriakan ibuku menggema di seisi rumah. Kata-katanya begitu menghujam hatiku. Menembus naluri yang mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Mendengar itu ayahku sontak membalas, "Karena kamu sudah tidak bisa memberiku kebahagiaan! Tahu kamu!" 

Perlahan-lahan kuintip pertengkaran yang terjadi, tepatnya di ruang tengah. Samar-samar aku melihat ibuku yang sudah terkulai lemas di lantai dan ayahku yang makin kalap dengan mata merah dan badan raksasanya. Ingin rasanya aku melerai mereka, atau setidaknya membawa ibuku yang sudah pucat pasi itu pergi menjauh dari ayah yang lebih nampak seperti singa kelaparan. Namun apa daya, justru aku pun sekarang sedang membutuhkan pelukan hangat. Pelukan yang setidaknya bisa memadamkan sedikit kobaran api di dalam jiwaku.

"Udah capek kamu?" Ayahku menggertak ibuku yang sudah terbaring tak berdaya. "Udah capek ngelawan aku terus?"

Nada bicara ayahku tak setinggi tadi, meski aku masih bisa merasakan kemarahan di dalamnya. Sementara ibuku hanya bisa terisak sembari mengusap pelan kepalanya yang mungkin sudah terluka akibat hantaman tanah.

Di situasi seperti ini, biasanya aku hanya bersembunyi di balik pintu kamarku dengan rasa takut yang entah kapan berakhirnya. Namun, saat ini aku memilih untuk keluar dari rumah, guna melepas semua kepenatan mentalku. Dengan sedikit takut aku melangkahkan kaki ke luar kamar, melewati ayah dan ibuku tanpa sedikit pun menoleh kepadanya.

"Mau ke mana kamu?" Suara teriakan ayahku bisa kudengar jelas, hanya saja aku terlalu malas menggubrisnya.

"ANGGI! MAU KE MANA KAMU?!"

Ah, sial. Teriakannya makin kencang saja.

"Ke mana aja asal enggak di sini," jawabku datar.

Awalnya aku takut. Kukira ayahku akan mengejar dan melukaiku seperti ia melukai ibu, tapi ternyata tidak. Maka dari itu, aku tetap meneruskan langkah untuk mencari kebebasan, kedamaian, dan ketentraman. Jika tak bisa mendapatkan ketiganya, aku harap aku bisa memperoleh salah satunya saja. Karena semua itu adalah hal mustahil yang bisa kudapatkan di dalam rumah ini.

Setelah melewati pintu utama, aku melihat pemandangan yang rasa-rasanya memancing amarahku. Tanganku mengepal saking hebatnya. Memang, keretakan keluarga kami telah diketahui banyak orang. Aku pun sudah terbiasa jika suara bising di rumah menjadi bahan tontonan beberapa tetangga yang sok mau tau urusan orang. Tapi, ini sudah kelewatan. Halaman rumahku layaknya layar tancap yang begitu menarik perhatian. Lautan manusia se-kompleks ini benar-benar tidak bisa diandalkan. Ditatapnya keadaan rumah kami dengan tatapan penuh tanya. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang membawa kamera untuk merekam. Sumpah demi apapun, di dalam diriku rasa marah dan malu sudah bercampur menjadi satu.

Dengan ganas, kuhantam pintu pagar yang mengejutkan sebagian besar dari mereka.

"Kalian kenapa?"

"Kamu enggak apa-apa, Dek?"

"Keluargamu kok berantem, Dek?"

Tak satu pun di antara pertanyaan-pertanyaan itu kugubris. Bodoh sekali mereka. Dengan segala hal yang mereka lihat, dengar dan rasakan, bukankah sudah tergambar jelas apa yang terjadi di antara kami? Kenapa aku harus menjelaskan lagi kepada mereka? Benar-benar manusia tak berakal.

Aku melanjutkan perjalanan. Tanpa sadar kepalaku terangkat ke atas, melihat senja yang mulai hadir di atas sana. Awan-awan putih berarak ditiup angin. Perlahan tergantikan dengan jingga khas senja yang cukup menenangkan. Aku tersenyum simpul. Hal sederhana ini saja sudah bisa memberikanku kebahagiaan.

"Mama juga pasti lagi senyum sekarang," gumamku.

Kepalaku kutundukkan kembali. Angin yang bertiup menggoyangkan helaian rambutku ke sana ke mari, membawa sedikit ketenangan dalam jiwaku. Aku rasa, aku lebih cocok berada di dunia luar seperti ini, dibandingkan rumah yang setiap hari hanya diisi oleh kerumpangan dan keretakan.

Rumah yang tak pantas disebut rumah.

****
(Bersambung)

Sabtu, 15 Mei 2021

11.34 WITA

Jenaka Dalam Asa [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang