"Anggi ..." panggil mama dengan suara yang teramat lembut.
Benarkah ini? Akhirnya aku bisa melihat mama setelah sekian lama. Sekarang, ia berdiri di hadapanku, dengan jarak kurang lebih dua meter.
"Ma! Ini bener mama?" Aku setengah berteriak. Kuharap mama bisa mendengarnya.
Mamaku mengangguk. "Iya, Nak."
Jawaban itu membuatku menitikkan air mata. Kerinduan yang telah lama kusimpan seketika memuncah. Bertahun-tahun lamanya aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Pemandangan di rumah memang sebuah keluarga utuh, tapi bukan benar-benar sebuah keluarga.
Aku memang bukan anak yang jenius. Bahkan, mendefinisikan keluarga saja aku masih bingung. Namun, yang kutahu, keluarga adalah tempat pulang yang sebenar-benarnya, sedangkan diriku bahkan tak pernah mau pulang ke rumah dan selalu mencari kesenangan di luar.
"Mama di sini aja, ya? Jangan tinggalin aku lagi, aku mohon ...." Aku berlutut sambil terisak.
Kulihat mama yang berlari ke arahku, tapi bukannya semakin dekat, jarak kami malah semakin menjauh.
"Sudah mama duga," ujar mama dengan tatapan sendu.
"Kenapa, Ma?"
"Kita udah beda, Sayang. Kita enggak bisa bareng-bareng lagi. Maafin mama, ya?" Tak terlalu nampak, tapi aku bisa menyaksikan air mata mama yang menetes di seberang sana. Benar-benar pemandangan yang menyakitkan.
Kata-kata mama barusan membuatku kehilangan kendali. Dengan berapi-api aku pun berujar, "Aku kangen banget sama mama. Aku mau ikut sama mama aja. Aku capek, Ma! Aku capek sama keluarga ini. Mereka perlakuin aku kayak binatang. Aku enggak ada artinya sama sekali bagi mereka. Aku mau mati aja!"
"Anggi, dengar mama, ya? Dunia itu memang melelahkan," titah mama dengan penuh kelembutan. "Tapi, apapun yang terjadi, kamu harus tetap bertahan."
"Tapi, Ma ...."
"Kita enggak tau kapan kebahagiaan itu akan tiba, Nak. Tapi, satu hal yang harus selalu kamu ingat adalah, mama sayang banget sama kamu, dan mama harap itu bisa jadi alasan kamu untuk tetap bertahan melewati semua ini, ya?"
Mama tersenyum meski air matanya tak kunjung mengering. Setelah itu, ia tak mengatakan apapun lagi. Semuanya terjawab dengan sosoknya yang makin memudar dan akhirnya menghilang.
"Mama!" teriakku sejadi-jadinya.
Namun, nihil. Mama benar-benar meninggalkanku.
*****
BRUKK!
"Mana Ibu!? Mana!?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka Dalam Asa [SUDAH TERBIT]
General Fiction[Sudah Tersedia di Shopee] Kepalaku sedikit menoleh, mataku kusorotkan kepada dua insan yang tengah bergaduh di ruang tengah. Di satu sisi aku sudah terbiasa melihat pemandangan ini, tapi di sisi lain aku juga lelah dengan keadaan ini. Ribuan kali...