(4) Jenuh

123 117 68
                                    

"ANGGI, DENGAR AYAH!"

Aku meringis. Gendang telingaku terasa pedih mendengar teriakan ayah yang menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Yah, setelah pertengkaran tadi, akhirnya kami tiba di rumah. Beberapa kali ayah menggertakku di tengah perjalanan karena tak mendengarkan ocehannya yang lebih mirip bualan itu.

Aku tak bermaksud kurang ajar. Tak pula mengada-ada. Namun, aku begitu kecewa, marah, sedih tatkala melihat sahabat-sahabatku diperlakukan demikian oleh ayahku sendiri. Berkali-kali aku merutuki diriku. Andai saja, tak mengakui ayah sebagai bagian dari orang tuaku tak mengakibatkan dosa, tentu hal ini sudah lama kulakukan.

"Anggi!" seru ayah lagi.

Tak kuindahkan panggilan itu. Terus saja aku berjalan menuju kamar. Biar saja seperti ini, agar ayah mengerti bahwa aku kecewa dengan perbuatannya. Aku lelah hidup seperti ini.

"Haduh, liat 'tuh anak kamu, Mas. Kurang ajar banget sama orang tua. Enggak punya sopan santun!"

Langkahku terhenti seketika. Padahal, posisiku saat ini sudah memegang gagang pintu kamarku, sedikit lagi aku akan masuk dan mencurahkan tangis di dalam sana, tiba-tiba ada pengusik lagi.

Aku berbalik, berusaha menahan air mata yang sudah tertampung di pelupuk mata.

"Oh, gitu ya?" Alisku terangkat sebelah. "Lo enggak nyadar, kalo sebenarnya lo yang lebih kurang ajar?"

Ayahku seketika menggertakku. "Anggi! Apa-apaan kamu? Enggak sopan ngomong sama ibu!"

"Kenapa?" tanyaku sedikit sewot. "Bukannya ayah sering mukulin dia, yah, karena dia udah enggak bisa ngasih ayah kebahagiaan? Terus kenapa dia tetap bertahan sampe sekarang? Oh, aku tau ... pasti karena harta, 'kan?"

"Anggi!" gertak ayahku sekali lagi.

Kulihat sekilas wajah orang yang kusebut 'Ibu' itu nampak kesal menahan amarah. Tanpa basa-basi, aku langsung berkata, "Lo ngerebut ayah dari mama gue, juga karena harta, 'kan?"

"Dasar, pelakor enggak punya harga diri," tambahku.

PLAKK!

Aku ditampar ayah. Lagi. Kuakui tamparan ini memang sedikit pedih. Namun, tak bisa kupungkiri aku cukup lega. Ah, sudah lama rasanya aku tak mencurahkan perasaanku kepada orang lain. Selama ini, aku terlalu sibuk memendam semuanya, sampai aku tersiksa sendiri. Beruntung, kali ini aku bisa melepaskan semuanya.

"Kamu memang kurang ajar sekali, Gi. Bisa-bisanya kamu masih membahas almarhum mama-mu. Dia sudah tenang di alam sana." Ayahku menggerutu. Tangannya mengepal, napasnya terdengar memburu, bersiap menyakitiku jika aku tak segera mengakhiri percakapan ini.

Buru-buru aku menekan gagang pintu kamar dan masuk ke dalam. Tetapi sebelum aku masuk, aku sempatkan menatap ayah sejenak, lalu berkata, "Tau dari mana mama udah tenang? Emang ayah pernah ke sana?"

"Asal ayah tau, ya ... mungkin mama bisa ikhlas, tapi aku enggak akan pernah. Sampai kapan pun aku akan men-cap ayah dan perempuan ini sebagai perusak kebahagiaanku dan mama. Camkan itu!" tambahku.

Untungnya, aku langsung menutup pintu setelah mengucapkan kalimat itu. Kalau tidak, bisa dipastikan aku sudah babak belur diadu amarah.

Suara ayah masih terdengar jelas. Makian dan kata-kata kasar yang terlantunkan dari bibirnya tanpa filter sedikit pun, membuatku tersenyum miris. Aku menutup wajah dengan bantal, membiarkan air mata yang semula tertahan, terserap di dalamnya. Yah, sedikit gila memang, tapi aku harap ada yang bisa merasakan penderitaanku juga meskipun itu benda mati seperti bantal yang sedang kupeluk saat ini.

Jenaka Dalam Asa [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang