Pembelajaran hari ini sungguh membuatku lelah. Mulai dari mata pelajaran Geografi, sampai Bahasa Inggris, tak ada satu pun yang masuk dalam otakku. Ditambah lagi bocah sialan yang duduk di sampingku, dan juga laki-laki sok akrab yang terus-menerus mengajakku berbincang. Sungguh mereka berdua berhasil merusak mood-ku.
Setelah jam pembelajaran selesai, aku tak langsung pulang ke rumah. Sudah cukup hariku ini direcoki oleh dua manusia sok asik itu. Belum lagi jika sampai di rumah, entah pemandangan apa lagi yang akan aku dapati. Bisa jadi ayah dan ibu sedang bertengkar atau bisa jadi aku yang jadi mangsa pelampiasan kemarahan. Oleh karena itu, aku memilih tempat ini sebagai penghibur. Tempat di mana aku bisa bertemu sahabat-sahabat yang mengenal bukan karena alasan apa pun, melainkan ketulusan semata.
Ya, inilah dia. Gubuk sempit tempat 'anak jalanan' tinggal. Jangan salah, mereka bukan 'anak jalanan' biasa. Mereka adalah sahabat-sahabat yang selalu bisa menghiburku dan mencetak senyuman di bibirku yang muram ini.
Di dalam gubuk ini, tinggal enam orang. Ada Udin si penjual cangcimen, Ucup dan Siti, kakak beradik yang klop menjadi pengamen, Wawan dan Mail yang keduanya menjadi preman pasar, serta Bu Asih si penjual kopi di kaki lima.
Hanya saja, hari ini hanya ada aku, Udin, Ucup dan Siti di gubuk ini. Sementara yang lainnya sibuk bekerja demi menyambung hidup.
"Kak Anggi ke sini lagi? Bukannya Kakak hari ini sekolah, ya?" tanya Ucup. Seorang anak berumur sepuluh tahun yang duduk di sampingku. Ia memegang sebuah ukulele di tangannya yang siap ia mainkan kapan saja.
"Udah balik, Cup." Aku menjawab singkat dengan ekspresi datar.
Menyaksikan hal itu, Siti bertanya, "Kak Anggi lagi sedih, ya?" Aku menggeleng. Bohong sekali jika aku tak sedih dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku benar-benar belum siap menceritakan semuanya kepada mereka.
Wajahku yang sempat tertunduk, tiba-tiba terangkat. Terkejut mendengar Udin yang spontan menyeru, "Oke, sodara-sodara, karena Kak Anggi lagi sedih, mari kita hibur. Mainin, Cup, Ti!"
Suara genjrengan ukulele terdengar sedap sekali di telinga. Aku tersenyum simpul, memang mereka yang paling bisa menghiburku saat merasa gusar akan hidup.
Siti menarik napas, lalu bernyanyi, "Kalau kupandang kerlip bintang nan jauh di sana!"
"Sayup kudengar melodi cinta yang menggema!"
"Terasa kembali gelora jiwa mudaku,"
"Karena tersentuh, alunan lagu, semerdu kopi dangdut!"
Ucup berhenti memainkan ukulelenya, saat Siti berhenti bernyanyi. Namun, di saat yang bersamaan Udin mulai berjoget. Ia menggoyang-goyangkan pinggu ke kanan dan ke kiri membuat kami semua tertawa.
"Heh, Udin gebleng! Mestinya lu joget pas kita nyanyi, bukan pas udah berhenti nyanyi!" ujar Siti yang membuat kami lagi-lagi tertawa lepas.
Udin berujar dengan entengnya. "Yee, biarin aja kali! Orang joget mah joget aja. Selama pinggul kuat, enggak usah pake musik juga diasikin aja. Sama kayak hidup, enggak punya duid, enggak punya temen, selama masih dikasih napas, ya nikmatin aja! Ya enggak, Kak Anggi?"
Udin tersenyum sambil menaik-turunkan alisnya kepadaku, membuatku tertawa kecil dan membalas, "Emang paling bisa lu, Din!"
Kata-kata simpel, tapi mendalam. Aku tak menyangka anak seperti Udin bisa mengucapkan kalimat filosofis macam itu. Yah, bahkan aku yang punya uang, keluarga dan teman saja tak bisa menikmati hidup sesempurna mereka. Sungguh, anak yang luar biasa.
Selepas itu, aku menengok ke arah Siti yang sepertinya memperhatikan sesuatu, tepatnya di arah pintu gubuk. Aku pun bertanya, "Kenapa, Ti?"
"Itu, Kak. Ada mobil bagus jalan ke sini," jawab Siti.
Aku mulai keheranan. Gubuk ini terletak di samping gang yang hampir tak terjamah manusia bermobil. Sebagai orang yang sering tidur di emperan dan nongkrong di gubuk ini, kurang lebih aku tahu keadaan orang-orang yang tinggal di sini semuanya memiliki finansial yang menengah ke bawah. Wawan juga pernah bilang bahwa tempat ini sama sekali belum pernah dihampiri mobil, terkecuali angkot dan truk sampah.
Saat mobil itu mendekat, seketika kedua bola mataku membulat sempurna.
Tidak, ini tidak mungkin. Batinku meronta.
Benar saja, sesaat setelah terhenti, sesosok lelaki kekar keluar dari mobil tersebut. Lelaki yang tampangnya sungguh familiar. Lelaki yang sudah bertahun-tahun lamanya merusak hampir setiap detik dalam hidupku.
"Ayah?" gumamku pelan. Namun, masih bisa terdengar oleh sahabat-sahabatku.
"Itu ayahnya Kak Anggi? Serem banget ...." Siti berujar dengan nada sedikit takut, melihat ayahku yang layaknya monster menuju ke arah kami.
"Ternyata, selama ini kamu kelayapan di sini, Anggi!" Ayah berteriak hebat, membuat Ucup, Udin dan Siti ketakutan lalu memojokkan diri di pinggir gubuk, membiarkanku dan ayah terlibat percakapan yang entah akan ke mana arahnya.
"Emangnya kenapa? Salah kalau Anggi ada di sini?"
"Salah!" seru ayahku. "Kita ini keluarga berada, Anggi! Bisa-bisanya kamu merendahkan keluarga kita dengan beegaul dengan gembel seperti mereka!"
"Ayah!" Aku membantah tak terima. "Mereka bukan gembel. Mereka sahabat-sahabat aku! Bahkan mereka lebih baik daripada Ayah sama Ibu!"
PLAKK!!
Satu tamparan berhasil mengenai pipiku. Namun, sakitnya tak seberapa dibanding hatiku dan hati sahabat-sahabatku saat mereka dihina. Mataku memanas, ingin sekali mengeluarkan bulir-bulir beningnya saat ini juga, tapi aku harus menahannya. Aku tak ingin melihat sahabat-sahabatku ini ikut merasakan kesedihanku.
Alhasil, aku hanya diam. Sorot pandanganku menjelajahi setiap sudut gang yang terjamah. Sangat berbeda dengan tetangga kompleks yang lebih menunjukkan kepalsuan dan rasa penasaran, warga gang memiliki tatapan iba yang menunjukkan sisi kemanusiaan mereka.
"Sekarang, ayo pulang! Ayah enggak mau lihat lagi kamu gabung sama gembel kayak mereka."
Meski marah, aku memutuskan untuk ikut demi sahabat-sahabatku. Aku bersyukur hanya diriku yang kena tamparan. Aku tak tahu bagaimana jadinya jika mereka juga diperlakukan sama oleh ayah.
Sebelum berjalan ke mobil, aku berbalik menatap mereka sambil berbisik, "Kakak enggak apa-apa, kok. Maafin ayah Kakak, yah?"
Selepas itu, aku langsung menuju mobil dan mengikuti ayahku untuk pulang ke rumah. Sepanjang jalan, ayahku menceramahiku tentang banyak hal. Meski begitu, aku hanya diam. Persetan dengan semua itu. Dibandingkan ayah, aku lebih memikirkan perasaan sahabat-sahabatku di gubuk sana. Apa yang mereka lakukan saat ini? Bagaimana aku bisa bertemu lagi dengan mereka jika keadaannya sudah begini?
Mataku makin memanas. Sudah tak kuat menahan air mata yang ingin mencuat. Aku pun memilih memalingkan wajahku ke arah kaca mobil dan menitikkan air mata di sana. Tak peduli ayah tahu atau tidak, yang jelas, hariku yang mestinya bahagia, lagi-lagi dirusak oleh ayahku sendiri.
Ayah yang kurasa tak pantas disebut ayah.
*****
Tbc.Senin, 31 Mei 2021
19.33 WITA
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenaka Dalam Asa [SUDAH TERBIT]
General Fiction[Sudah Tersedia di Shopee] Kepalaku sedikit menoleh, mataku kusorotkan kepada dua insan yang tengah bergaduh di ruang tengah. Di satu sisi aku sudah terbiasa melihat pemandangan ini, tapi di sisi lain aku juga lelah dengan keadaan ini. Ribuan kali...