(7) Momen Kerja Kelompok

98 94 32
                                    

Setelah peristiwa menengangkan via virtual yang kualami barusan, akhirnya aku, Grace dan Hisyam akhirnya berangkat ke rumah Hisyam untuk mengerjakan tugas makalah. Kami menggunakan angkutan kota. Mengelilingi Kota Jakarta yang kian terik nan menggerahkan. Kemacetan juga menjadi bagian dari perjalanan kami. Namun, di balik itu semua aku juga merasa senang, karena aku akhirnya bisa menghirup udara segar--meskipun udaranya tercampur sedikit debu--tanpa sedikit pun diintai oleh ayah.

Kurang lebih tiga puluh menit kami menghabiskan waktu di perjalanan. Setelah sampai, kami pun turun dari angkot. Hisyam memimpin aku dan Grace dengan berjalan di depan. Tak terlali jauh, hingga ia menunjukkan rumah tempat dirinya tinggal.

"Maaf ya, Gi. Rumah gue enggak segede yang lo bayangin." Hisyam menghampiri salah satu rumah yang cukup kecil, dengan pagar yang kira-kira hanya beberapa centi melampaui tingginya.

Aku berdecak sekali. "Emang lo kira gue mandang orang dari rumahnya doang?"

Hisyam terkekeh pelan. Kekehan itu disambut oleh sahutan Grace. "Minta maafnya sama Anggi doang? Gue enggak, gitu?"

"Enggak usah," jawab Hisyam. "Lo udah sering ke sini. Jadi enggak usah protes-protes lagi." tambahnya membuat Grace menatapnya sinis.

Seperti biasa, aku lagi-lagi mengerahkan kemampuan mengamatku. Rumah bernuansa hijau yang sangat sederhana, namun bersih dan rapi. Dari luar tak nampak sama sekali ada bagian-bagian tembok yang terkelupas atau pecah-pecah. Semuanya tercat dengan sempurna. Furnitur berupa guci bernada serupa terpampang jelas di sebelah jendela salah satu kamar. Lagi-lagi dengan penataan yang kuduga sangat detail. Ah, kurasa rumah ini menarik perhatianku.

Kami pun dipersilakan masuk oleh Hisyam. Baru sekali Hisyam mengetuk pintu, ibunya langsung membukanya dan muncul di hadapan kami.

"Hisyam? Allahu Robbi.  Anak siapa lagi yang kamu bawa, Nak? Cewek ini pacar kamu?" tanya Ibu Hisyam sembari menunjukku.

"Hustt ... bukan, Mami. Ini 'tuh, temen baru Hisyam. Namanya Anggi, dia baru pindah beberapa minggu lalu. Sekarang kita ditugasin buat makalah, dan aku satu kelompok sama mereka berdua." Hisyam menjelaskan panjang lebar dengan ekspresi sedikit panik. Mungkin ia takut ibunya salah paham.

Tanpa basa-basi, aku pun langsung menyalami tangan ibu Hisyam disusul Grace yang melakukan hal serupa.

Aku menduga-duga, sepertinya perkataan Grace soal Hisyam yang dimanja oleh kedua orang tuanya memang benar.

Kami pun segera masuk ke dalam ruang utama, yang lagi-lagi membuatku berdecak kagum karena ke-detailan dan kebersihannya.

"Papi mana, Mi?" tanya Hisyam kepada ibunya yang membawakan kami beberapa toples camilan untuk disantap.

"Papi masih belum pulang kerja. Masih sibuk dia," jawab sang empu sembari meletakkan toples di atas meja.

"Udah," titah ibu Hisyam. "Mama enggak mau ganggu dulu. Selesaiin dulu tugas kalian, nanti kalo udah kelar, kita makan bareng. Mama udah siapin bubur cum-cum kesukaan icam ...."

"Mami! Jangan gitu ah, malu. Ini ada temen-temen Hisyam loh!" Hisyam menutup wajahnya pertanda malu. Sementara aku dan  Grace menertawakannya begitu puas.

"Hisyam memang anaknya super manja, Nak. Kalau Grace pasti sudah paham karena sudah sering main ke mari. Nah, tapi pasti Anggi kaget ya liatnya? Kalo di luar emang tampangnya macho, tapi kalo di rumah kelakuannya kayak Hello Kitty. Hahah ...." Ibu Hisyam mengakhiri kata-katanya dengan tawa lepas.

"Mami!" sergah Hisyam yang tak kuasa menahan malu.

"Oke, oke. Udah, kalian kerjain aja tugas kalian."

Setelah mengatakan itu, ibu Hisyam pun berlalu. Aku menatap wajah Hisyam yang memerah menahan malu. Mungkin juga sedikit kesal. Aku cukup mengerti perasaannya, tapi juga tak bisa kupungkiri, seperti inilah keluarga yang kuinginkan. Penuh canda tawa, dengan orang tua yang sangat mengenali karakter dan apa yang disukai anaknya.

Ah, sudah bertahun-tahun aku tak merasakan momen ini. Telingaku sudah terbiasa mendengarkan suara nyaring berupa pecah beling, suara tamparan, dan juga teriakan ibu tiriku tatkala ia sudah kesakitan dipukuli oleh ayah. Jujur, aku sangat merindukan momen ini.

"Gi!" Tepukan Grace di pundakku memecah lamunanku.

"Lo ngeliatin gue sampe segitunya, Gi?" Hisyam bertanya dengan wajah kege'eran. "Emang gue seganteng itu, ya?"

"Enggak. Gue cuma mikir aja, kok bisa ada cowok yang penampilannya macho, tapi tiba-tiba di rumah langsung berubah jadi Hello Kitty?" jawabku enteng eraya mengerdikkan bahu.

"Gi! Udah dong, ah!" keluh Hisyam, lagi-lagi mengundang tawa kami.

Selepas itu, kami pun segera berkonsentrasi mengerjakan tugas dengan tenang. Mendiskusikan yang terbaik untuk makalah kami, sehingga presentasi kami di kelas Bu Intan nanti dapat berjalan dengan lancar.

Untuk siswa bermasalah sepertiku, aku cukup kesulitan mengerjakan semua ini. Yah, mungkin ini juga faktor karena aku terbiasa berbuat onar dan tak pernah memperhatikan pelajaran. Namun, aku bersyukur karena kedua orang ini mau membantuku meski terkait hal-hal kecil sekalipun.

Pikirku, satu kelompok dengan mereka sepertinya tidak terlalu buruk.

*****

Tbc

A/N : Nah, beberapa part terakhir kita refresh dulu otak dengan part-part ringan. Setelah ini, kita akan mulai konflik baru lagi! Jangan sampai ketinggalan, ya! Chuaks

Sabtu, 12 Juni 2021

Pukul 15.10 WITA


Jenaka Dalam Asa [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang