III

45 9 4
                                    

Akan tetapi, di balik sebuah perasaan kagum, terkadang tersimpan sedikit rasa iri.”
A Sticker For You; Bab 3


FOTO kedua, halaman kedua. Dua orang di sana, Jessica dan Brian, sama-sama menampilkan senyum tipis. Meski hasil potret tahun 2013 itu tidak terlalu bagus—ini berdasarkan opini pribadi Clara, si pengambil gambar tetap merasa puas. Lapangan voli yang menjadi latar belakang foto itu kebetulan sepi.

Seperti foto pertama, terdapat tulisan tangan Clara di bawah foto kedua.

Ini foto pertama kamu dengan Brian. Kayak yang pernah kamu bilang, ‘adegan di balik layar yang nggak boleh dilewatkan’!

Pandangan Clara mulai mengabur. Gadis itu ingat sekali bagaimana pertemuan pertama mereka dengan Brian yang tidak disengaja.

***

“Sumpah, ya, nggak ada gunanya kegiatan yang kayak itu.” Clara menyobek kemasan es krim sambil menggerutu. “Iya kalau itu bikin kita ingat tempat ini di mana, tempat itu di mana. Kalau yang diingat malah wajah hantu gadungan itu, gimana?”

Jessica mengembuskan napas. “Benar juga, sih.” Melihat Clara yang mulai menikmati es krim usai membuang pembungkusnya, Jessica ikut menyobek kemasan yang sama di tangannya. Dia melakukannya dengan santai dan tidak kasar seperti Clara. Bisa-bisa es krimnya jatuh jika dia meniru kelakuan teman sebangkunya itu. “Aku masih terbayang-bayang gimana kagetnya tiap ketemu mereka.”

“Nah, kan, apa kubilang.” Clara masih mengomel. “Niatnya mau iseng atau balas dendam karena MOS mereka juga gitu atau gimana, sih?”

“Ya … itu berlaku buat kamu yang emang orangnya nggak penakut. Kalau aku, kan, sebaliknya.”

Dua bulan berlalu sejak Masa Orientasi Siswa berakhir. Berawal dari Jessica yang membicarakan kegiatan Malam Menjerit, kegiatan terakhir MOS yang wajib dilakukan oleh calon murid baru, membawa kekesalan pada Clara. Kegiatan itu mengharuskan mereka melewati jalanan yang sudah ditentukan pengurus OSIS pada malam hari. Selama berjalan mengikuti rute, mereka akan menemukan hal-hal bisa menghadirkan rasa takut. Sayangnya, hal ini tidak berlaku pada anak-anak seperti Clara yang tidak mudah takut ataupun terkejut.

Gelap. Clara tidak menoleh ke sana ke mari. Takut kalau-kalau dia tersandung batu atau kerikil hanya karena terbatasnya cahaya. Dia berjalan selayaknya sedang berada di sebuah taman penuh bunga. Tenang dan tidak terlalu cepat maupun lambat. Ketukan sepatu Clara menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

Seorang kakak kelas dengan balutan kaos lengan panjang abu-abu dan celana pramuka berdiri di ujung jalan. Clara melirik bangunan di belakang siswa tersebut. Kantin. Ah, perjalanan Clara masih kurang sedikit lagi untuk sampai di aula, tempat yang menjadi titik awal sekaligus titik akhir kegiatan Malam Menjerit.

Ke arah sana, Dik.” Kakak kelas itu menunjuk jalanan di depan. Keberadaan beberapa pengurus OSIS di beberapa ujung jalan memang berfungsi sebagai pengarah agar calon adik kelas mereka tidak tersesat.

Clara mengangguk. “Terima kasih, Kak.”

Dua menit setelahnya, Clara berhenti sejenak. Di depan sebuah kelas, ada sebuah tanaman pucuk merah yang tingginya hampir sama dengan Clara. Gadis itu menyipitkan mata. Ada seseorang yang berdiri di baliknya. Warna bajunya biru laut, warna khas baju pengurus OSIS. Entah apa yang akan dilakukannya untuk mengejutkan calon adik kelas yang lewat. Clara kembali berjalan seperti biasa.

Ayam-ayam!” pekik Clara tertahan. Kakak kelas itu menyinari wajahnya dengan senter! Matanya—yang cukup besar—melotot pula. Tidak seram, tetapi tetap saja membuat Clara terkejut dan mundur satu langkah. Kemudian, gadis itu menghela napas panjang. “Apa-apaan.” Dia bergumam sambil melanjutkan langkah.

A Sticker for YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang