“Dia tidak bisa memprediksi apa risiko yang akan dihadapi nanti. Ini semua demi menjaga apa yang dia rahasiakan. Meskipun jauh di lubuk hatinya, dia tidak ingin kehilangan Clara, seorang teman yang belum lama ini menjadi dekat.”
—A Sticker For You; Bab 6
Garasi rumah sedang kosong. Jessica memandangi tempat tersebut selama lima detik sebelum melepas sepatu dan melangkahkan kaki ke dalam rumah. Gadis itu tanpa sadar mengucapkan syukur dalam hati, tetapi napasnya sedikit tidak beraturan. Tidak ada mobil yang terparkir membawa fakta bahwa kemungkinan besar hanya dia yang ada di rumah. Ya, dia bersyukur akan kesepian yang menyergapnya sebentar lagi.Jessica memandang sekitar. Lengang. Seperti biasa. Hanya ada ketukan sepatu dan decitan pintu ketika dia membukanya. Sesekali juga terdengar klakson mobil dari luar rumah, dari pengendara lain yang tidak ingin Jessica ketahui orangnya. Gadis itu menghela napas lega. Seharusnya dia tidak perlu khawatir dengan hari-hari biasa karena rumah pasti sedang sepi. Dia pun berjalan santai ke kamar. Hampir saja dia menyentuh gagang pintu sebelum sebuah suara yang amat familier tiba-tiba berdengung di telinga.
“Gimana kalau aku ke rumah kamu?”
“Nggak, nggak.” Gadis itu menjawab lirih sambil menggelengkan kepala, meski sudah jelas bahwa Clara tidak bisa mendengarnya saat ini.
“Cuma main, Jess, bukan menginap. Nggak sampai sehari.”
“Nggak, nggak bisa, siapapun … nggak boleh.” Jessica bergumam lagi. Tangannya yang awalnya mengambang di udara perlahan turun. Menempel di pinggang. Kepalanya menunduk. Dia tahu pasti kalau Clara akan menanyakan alasannya, tetapi tidak ada jawaban yang tepat selain mengungkapkan keyakinan mengenai keadaan rumah yang bisa saja membuat Clara tidak betah berada di dalamnya. Jawaban itu dirasanya cukup jelas. Entah bisa dimengerti atau tidak oleh Clara, dia tidak ingin berbicara lebih jauh. Tidak akan memberikan penjelasan. Atau sesuatu yang belum lama ini disimpannya rapat-rapat akan terbuka.
Jessica menyadari ada orang lain di dalam rumah ketika dia mendengar aliran air dari kran yang ada di dapur. Itu pasti Bi Sarah. Seorang pembantu yang sudah bekerja di rumahnya sejak dia bisa menginjakkan kaki dan berjalan dengan benar. Jessica membalikkan badan dan tersenyum ketika Bi Sarah berjalan mendekat.
“Udah pulang, Non? Mau saya buatin makanan?”
“Nggak perlu, Bi, tapi tolong Bibi masakin makan malam aja nanti. Sekarang aku ngantuk.” Jessica begitu lancar saat menjawab. Dia memang telah menyiapkan jawaban itu untuk pertanyaan Bi Sarah yang tidak jauh-jauh seputar makanan pada waktu siang hari seperti ini.
Bi Sarah ikut melengkungkan bibir ke atas dan mengangguk.
“Kalau gitu … aku ke kamar dulu, ya, Bi. Mau tidur.” Jessica melirik kamarnya. Bi Sarah mengangguk, mempersilakan putri dari tuan rumahnya melakukan hal yang diinginkannya.
Setelah memastikan dirinya terkunci, Jessica terduduk di tepi tempat tidur. Menatap kedua kaki yang baru saja terlepas dari kaus kaki yang cukup ketat. Menghela napas untuk kali kedua. Helaan napas yang lebih berat daripada yang pertama. Dia menyukai suasana yang hening dan sepi, tetapi sampai kapan kedua hal tersebut akan terus menjadi teman sejatinya?
***
Makan malam sudah selesai dilakukan oleh Jessica sejak dua jam yang lalu. Kini, dia telah kembali ke kamar. Tidak ada pekerjaan rumah—yang selalu membuat teman sekelasnya mengeluh sepanjang malam—sehingga dia hanya memasukkan buku-buku yang akan dipelajari besok sesuai jadwal. Jessica sendiri tidak ingin belajar untuk sekarang. Pikirannya sedang tidak bisa diajak berkompromi untuk menyerap materi baru. Dia masih terpikirkan akan Clara. Mereka baru saja menjadi dekat, tetapi Jessica sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia telah menyembunyikan sesuatu dan tidak mudah terbuka kepada siapa pun. Seandainya saja dia bisa meminta maaf kepada Clara atas sikapnya, tetapi sayangnya dia tidak bisa. Gadis dengan hidung mancung itu memang tidak pernah terbuka kepada orang-orang, tidak peduli orang itu merupakan keluarga sendiri, teman dekat, bahkan seseorang yang dia cintai. Tak terkecuali Brian. Jessica berhasil menutup mulut dari laki-laki sekaligus teman masa kecilnya itu. Padahal, bisa dibilang bahwa Brian adalah sahabat pertamanya yang kemudian disusul oleh Clara.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Sticker for You
أدب المراهقينHidup Clara biasa-biasa saja. Tidak ada yang mengharuskannya terlibat dalam suatu kejadian tak terduga. Semua tampak normal dan terkadang membosankan, sampai pada titik di mana Clara merasa tidak dipercaya Jessica, sahabatnya. Dia tidak tahu apa-apa...