Jam analog yang tergantung di dinding sudah menujukkan angka delapan malam. Di diluar sana salju masih terus berjatuhan, membuat hawa dingin semakin menusuk pori.
Penghangat ruangan dinyalakan Clodan setelah dirinya menarik gorden, menutup dinding kaca menggunakan kain berbahan sutra itu. Sedangkan di atas ranjang Melody masih bergulung dengan selimutnya, menutup matanya dengan rapat.
Mendudukkan dirinya di sisi ranjang, Clodan menarik selimut sehingga selimut yang dikenakan Melody melorot dan memperlihatkan tubuh polos Melody yang tidak bisa di katakan baik-baik saja. Itu terlihat dari wajahnya yang menampakkan lelah dan tubuhnya yang berhias kemerahan. Dari mulai leher hingga dada dan perutnya.
"Melody, waktunya makan malam," ucap Clodan.
Tidak ada jawaban. Melody masih betah memejamkan matanya dengan napas yang masih terdengar tak teratur.
"Melody, sudah waktunya makan malam," ucap Clodan lagi. "Aku tahu kau tidak tidur," sambunya. Nada bicaranya seperti terdengar tenang, tetapi penuh dengan perintah.
"Aku tidak lapar," balas Melody tanpa membuka matanya dengan tangan menggapai-gapai selimut.
"Lapar tidak lapar, ini sudah waktunya makan malam, dan kau harus tetap makan!" ucap Clodan lagi. Kali ini suaranya terdengar kesal.
"Bisakah aku makan disini saja? Aku tidak sanggup berjalan," balas Melody. Matanya kini terbuka dan melihat ke arah Clodan yang mentapanya dengan lekat.
"Tidak!" tolak Clodan.
Menghela napas lelah, Melody mencoba bangun dari baringannya dan kini sudah mendudukkan tubuhnya dengan menahan selimut untuk menutup kedua asetnya yang membusung.
"Baiklah. Aku akan membersihkan diri dulu," ucap Melody. Dia beringsut turun dari ranjang, meninggalkan selimut dan berjalan masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengenakan apa pun.
Clodan yang melihat kelakuan Melody hanya diam, dan memutuskan untuk keluar dari kamar. Dia berjalan menaiki tangga untuk ke pergi lantai tiga, tempat ruangan kerjanya berada.
Sesampainya disana, Clodan mendudukkan dirinya di kursi dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Helaan napasnya terdengar, diiringi decakan kesal di bibirnya.
Cinta, Clodan paham betul jika dirinya masih sangat mencintai Melody. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi cinta yang tak sewajarnya. Clodan merasakan dia semakin mencintai Melody, maka dia akan merasakan kesenangan jika dia bisa membuat Melody menangis atas segala perbuatannya di masalalu.
Ketukan di pintu membuat Clodan menoleh dan melihat ke arah pintu. "Masuk!" perintahnya, kepada orang yang mengetuk pintu.
"Tuan, makan malam sudah siap. Nyonya juga sudah berada di meja makan," ucap pelayan memberitahu.
"Baiklah, aku akan turun," jawab Clodan.
Setelah mendengar jawaban Clodan, pelayan itu pun pamit undur diri dan segera kembali menuruni tangga untuk sampai ke lantai satu.
Clodan keluar dari ruangan kerjanya dan turun menggunkan lift untuk mempercepat waktu, dan sesampainya disana dia sudah melihat Melody yang duduk di kursi meja makan.
Saat melihat kedatangan Clodan para pelayan mempersilahkan Clodan untuk duduk dan setelah itu mereka segera pergi, membiarkan Melody melayani Clodan, karena itu adalah tugasnya.
Mereka berdua makan tanpa bersuara, sampai di mana makanan di piring mereka tandas tak tersisa. Setelah itu barulah Clodan berdiri dari duduknya dan pergi ke ruang tengah untuk mendudukkan dirinya di sofa. Tangannya mulai memainkan ponselnya, memeriksa pesan masuk yang dikirimkan oleh asisten pribadinya. Melody juga mengikuti Clodan dan kini duduk di sofa, tepat di sampaing Clodan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Suamiku
General FictionCLODAN MARVIN, dipertemukan kembali dengan cinta masalalunya yang telah meninggalkan luka terdalam untuknya. Dia memutuskan untuk menikahinya dan membalaskan rasa sakitnya kepada wanita yang telah meninggalkannya itu.