tre

445 54 0
                                    

.
.
.

Jisung dan Felix menatap lama keluarga bahagia itu, sampai benar-benar menghilang di belokan komplek.

"Kau masih mencintainya?"

"Tentu, ini sebuah rasa yang tak bisa ku hilangkan begitu saja."

Jisung menaikkan sebelah alisnya menatap Felix, ia bingung dengan teman nya satu ini.

"Kau tahu, aku sudah bersama dengannya sejak aku masih dalam kandungan ibuku. Yaah, waktu itu dia berumur dua tahun.

Rasa itu tumbuh karena nyaman akan perlakuan nya, tumbuh karena terbiasa akan kebaikannya.

Melihatnya tersenyum merupakan sebuah keberuntungan bagiku, melihatnya bersedih seakan sebuah hal buruk yang menimpaku.

Aku tak akan dengan mudah menghilangkan rasa ini, biarkan saja ia perlahan-lahan mati. Melihatnya bahagia dengan pilihan nya, sudah cukup bagiku."

"Yaah, kak Abin benar-benar sudah bahagia sekarang. Dan ku harap rasa mu akan segera mati."

Jisung melihatnya, melihat bagaimana Felix mencoba menahan rasa sakit di hadapannya dan juga Changbin tadi. Dia tahu, bahwa melupakan rasa untuk orang yang sungguh spesial di hati benar-benar sulit.

"Yah, aku juga mengharapkan nya.
Eumh, Jisung."

"Kenapa?"

"Aku mempunyai firasat, akan ada anggota baru di keluarga kak Abin."

"Hah?!"

"Aku tak tahu pasti, tapi kurasa akan ada seseorang yang masuk ke keluarga itu."

"Maksud mu, kak Abin bakalan nikah lagi? Masa!"

"Sudah ku katakan, aku tak tahu pasti bodoh. Ayo kita kerumah Seungmin saja"

Felix melangkah kan kakinya menuju mobil yang di kendarai oleh Jisung tadi, meninggalkan Jisung yang masih syok.

"Kak Abin nikah? Lagi? Beneran? Jisung aja masih tunangan, blum nikah. Kak Abin udah mau tiga." Jisung bergumam mencoba menyadarkan dirinya.

"Oii!"

Felix memanggil temannya itu yang dari tadi masih bengong, dengan segera Jisung masuk ke mobilnya.

"Tumben sekali tunangan mu tidak ikut."

"Ah, kak Minho sedang ada tugas katanya. Jadi, kita pergi berdua saja."

"Owh, baiklah"

***

Changbin dan keluarganya sampai di rumah tepat pukul lima sore, kelimanya sedang membersihkan diri lagi sekarang.

"Ge" panggil Changbin setengah berteriak, jarang sekali pria kita ini berteriak.

"Iya Buna" Ge yang namanya di panggil dengan sebuah teriakan, tergesa-gesa turun ke lantai bawah. Dimana Bunanya sedang duduk di sofa ruang keluarga.

"Kenapa Buna?"

"Sini" Changbin menepuk sofa di sampingnya, menyuruh si sulung untuk duduk di sebelahnya.

Ge bingung, namun dengan segera ia laksanakan perintah Bunanya. Changbin tersenyum lebar, lalu ia menidurkan tubuhnya dengan paha Ge sebagai bantal. Ge kaget tentunya, harusnya ia yang melakukan itu terhadap sang Buna. Bukan malah sebaliknya.

"Usap kepala Buna" Changbin meraih tangan Ge di samping remaja itu, ia mengusapkan telapak tangan Ge di kepalanya.

"Eh, buna?" Ge bingung tentu saja, ada apa dengan Bunanya?

Jingga [ChanChangJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang