Empat Orang Dungu

54 8 10
                                    

Sejujurnya Khali tidak suka dengan ide pindah sekolah. Selain karena dia harus susah payah beradaptasi lagi, dapat dipastikan di sekolah baru nanti orang-orang sudah memiliki temannya masing-masing. Maka tersisalah dia sendirian, tidak punya teman, dan otomatis akan bertransformasi jadi anak pendiam di sudut bangku paling belakang.

Memangnya dia sapu?

Jikalau pun ada orang baik hati yang ingin merekrutnya masuk ke dalam geng, belum tentu juga lingkaran pertemanan itu akan cocok dengan dia. Khali tahu kalau kepribadiannya agak susah, paham kalau frekuensinya agak berbeda dari orang kebanyakan. Dia tidak mau terjebak dalam kondisi sulit yang mengharuskannya memilih antara mau jadi anak yang soliter tapi bebas atau mau punya teman tapi pura-pura.

Lebih dari itu sebenarnya Khali hanya takut tidak diterima dalam pergaulan siapapun. Juga takut jika orang-orang yang terlihat menerimanya dengan tangan terbuka ternyata menyembunyikan belati di balik punggung.

Oleh karenanya, ketika sang ayah ingin membawanya turut serta guna mengurusi berkas-berkas kepindahan sekaligus mengenalkan seperti apa calon sekolah barunya pagi ini, Khali melakukan sebuah usaha kecil untuk melindungi diri.

“Lho? Kok jaketnya dipake?” Dennis baru saja membuka pintu mobilnya ketika Khali buru-buru mengenakan hoodie.

Bukannya Khali bercita-cita jadi Alan si pejalan kaki yang nge-DJ lagu Faded, hanya saja menurutnya ini bukan saat yang tepat untuk menampakkan diri. First impression itu penting. Dan sejujurnya dia belum siap melihat anak-anak sekolah ini terguncang akibat pesonanya. Terlalu dini. Toh dia bakal ada di kantor untuk mengurus berkas-berkas kepindahan, bukan di kelas untuk perkenalan. Mereka hanya akan melihatnya sekilas-sekilas saja. Tanggung. Kasihan. Nanti banyak yang kena sawan gara-gara penasaran.

Halah!

“Biar nggak ketahuan kalo ini aku. Hehe,” katanya sambil menaikkan tudung. Suaranya agak teredam masker.

“Waduh …. Intel bukan anaknya Papa Dennis ini? Kok sembunyi-sembunyi.”

“Hahahaha,” tawanya. “Eh, ngomong-ngomong Papa udah liat tweet yang aku share kemaren belom? Yang Kang Bakso terduga Intel karena punya walkie-talkie.

“Belom. Kenapa?”

“Ah, Papa mah gitu. Ada komen bagus padahal.”

“Apa?”

“Abang tukang bakso, mari-mari sini. Kijang satu ganti.”

Sepasang bapak-anak receh itu pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya sampai keluar dari mobil karena pintu sebelah kanan terbuka. Beruntung, ini jam delapan. Suasana di sekitar gerbang sepi karena siswa-siswanya sudah duduk manis di ruang kelas. Hanya ada beberapa pedagang kaki lima yang mangkal dan mobil-mobil kosong yang terparkir di tempat parkir berbayar ini.

Usai keluar dan menutup rapat pintu mobil, Dennis merangkul pundak putrinya. Lalu membawanya untuk melangkah ke arah gapura megah yang menjadi pintu masuk SMA Adipura sambil berbisik, “Pssstt, jangan main-main. Ada tukang bakso.”

Khali berhenti demi menoleh.

“Heee ... malah nengok-nengok. Kamu nggak ngerti SOP ngomongin orang, ya?”

“Oh iya, lupa. Hehe. Maaf-maaf.” Khali nyengir. “Tapi nggak ada tuh, Pa.”

“Apanya?”

“Tukang baksonya.”

“Ada.”

“Enggak.”

“Ada.”

“Enggak ….”

DAN: Bila EsokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang