Bayu tidak pernah membenci Matematika. Serius. Mau itu Matematika ‘gundul’ atau Matematika variasi yang berkencan dengan huruf-huruf. Baginya semua sama saja. Sama-sama mudah. Makanya sewaktu Rades menelepon dan terus saja merepet tentang susahnya menyelesaikan soal sistem pertidaksamaan linear---padahal masih dua variabel---Bayu jadi kesal dan jengkel. Dia sudah menjelaskannya berkali-kali dan teman beda kelasnya itu masih saja tidak mengerti.
“Bikin dulu modelnya, Des. Bikin dulu modelnya.” Bayu menahan diri untuk tidak berteriak. Dia tahu meneriaki Rades tidak akan mengubah cowok itu menjadi lebih pandai.
“Duh, gue nggak punya kenalan model. Kalo pake selebgram boleh?”
“Becanda aja terus sampe goblok.”
“Hahahahahha,” tawa Rades meledak. “Lagian lo galak banget kayak Yura lagi PMS. Santai, men. Chill ....”
“Ya gue juga bisa santai kali kalo elonya pinteran dikit.”
Kembali, tawa Rades terdengar. “Hahahahahaaha. Gue udah nggak di kosan, Bay. OTW rumah nih, ngurusin kawinan. Kerjain tugas gue dong.”
Bayu pusing. “Si anj***. Yang mau kawin kakak lo ya, bangsat.”
“Iya, emang kakak gue yang mau kawin. Tapi gue spesialis acara kawinannya. Spesialis nge-cover semua kerempongan nyokap gue yang artinya gue adalah babu. Woy! Kalo belok ngesen, bego!” Suara klakson terdengar beberapa kali.
“Besok hari-H, gue bolos, tapi besok juga tugasnya dikumpul. Masa baru minggu-minggu awal masuk sekolah gue udah nggak ngumpul tugas? Nama gue yang harum mewangi bagai mawar di musim semi bisa membusuk dong. Tolongin, ya?”
“Nggak,” tolak Bayu. “Lo lupa kalo setiap anak jatah soalnya beda?”
“Kan kita beda kelas. Dan kebetulan lo dapet nomor yang sama kayak gue. Hehe.”
Bayu tak menjawab. Sepertinya dia harus mengingatkan Poppy, Dilla, Yeri, Fitara atau barang kali semua kaum hawa yang ada di kelasnya untuk berhenti menyebarkan info mengenai dirinya pada Radeshka Mahabara. Apapun iming-iming fak boy cap kucing garong itu.
“Sekali ini … aja. Ya? Atau minta aja deh. Ntar gue yang nyalin, erus gue Go-send ke rumah elo.”
“Gue tutup teleponnya.”
“Bangke! Jangan di---” suara Rades menghilang tepat setelah Bayu menekan tombol merah di layar ponsel.
Kehilangan sumber suara berisik, kamar bernuansa abu-abu itu kembali hening. Lewat jam di atas meja Bayu tahu kalau sekarang sudah jam setengah delapan malam. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi belajar, kemudian melempar ponsel pintarnya ke atas kasur. Rades mungkin akan meneleponnya beberapa kali lagi, tapi Bayu tidak peduli. Biarkan saja. Dia tidak berminat untuk mengangkat. Toh, Yura pasti tahu dan akan menyiapkan salinan tugas untuk Rades. Cewek itu tidak akan tahan untuk membendung jiwa bucinnya yang luber seperti kali Ciliwung kala musim penghujan.
Bayu meraih sebuah bolpoin hitam yang tergeletak di atas buku tulis, kembali melakukan kegiatan yang dia lakukan sebelum mendapat interupsi telepon: mengerjakan PR matematika. Sama halnya dengan Rades, tugas pertidaksamaan linear di kelasnya juga dikumpul esok hari. Sesekali Bayu memakai kalkulator, menekan-nekan tombol angka dan tombol fungsinya guna mendapatkan hasil akhir. Dalam sekejap coretan telah memenuhi buku khusus hitungan dan jawaban-jawaban final juga telah dia torehkan di atas buku tugas. Bayu mengembuskan napas lega. Total sudah sembilan soal yang dia selesaikan. Kurang satu nomor lagi untuk menuntaskan pekerjaan ini.
“Waw, lancar juga Anda.” Tiba-tiba suara perempuan membelai telinga Bayu. Persis dari samping kepalanya.
“ARGH!” Kontan saja Bayu terkejut. Tubuhnya sampai limbung ke kiri, jatuh dari kursi. Dia terduduk di lantai dengan punggung yang menabrak ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN: Bila Esok
Novela JuvenilSebagai murid baru, hal pertama yang Khali cari tentu adalah bangku---eh, maksudnya sahabat. Khali tahu kepribadiannya agak sulit diterima dan populasi cewek-cewek yang sefrekuensi dengannya amat jarang, jadi dengan penuh kesadaran dia berusaha untu...