"Oke, Ibu cukupkan sampai di sini. Jangan lupa tugasnya dikerjakan dan dikumpul hari Sabtu depan."
Yura menutup bukunya lemas.
"Selamat istirahat."
"Terima kasih, Bu."
Tepat setelah Bu Gayatri keluar dari ruangan, suasana kelas yang tegang macam tali beha itu langsung lenyap. Kelegaan kental menyeruak dari wajah lesu anak-anak laknat penghuni kelas 11 IPA 4. Gembira menyambut kepergian ibu guru Biologi yang kaku dan galak.
"Hah." Yura mengembuskan napas pendek. Ini dia, sobat. Bagian paling menyedihkan dari keabsenan Rades di sekolah: dia sendirian. Sudah menjadi rahasia umum jika sedari dulu dunia Yura hanya berkeliling di sekitar Rades, fokus mengasuh bayi besar itu. Tentu saja Yura merasa kehilangan jika 'bayinya' menghilang. Terlebih di kala istirahat seperti ini. Dengan siapa dia mau ke kantin? Angin? Bayang-bayang?
Mau mengajak teman sekelas, tidak akrab. Mau mengajak teman kelas sepuluh, tidak akrab juga. Mau solo karir kok nelangsa sekali ....
Setelah menimbang-nimbang penuh perhitungan yang didominasi rasa gengsi pergi sendiri, Yura membalikkan tubuhnya ke belakang. "Lo mau ke kantin, nggak?" tanyanya.
"Lo?" tanya Khali balik.
"Iya. Mau bareng?"
"Emmm ... boleh, deh."
Jujur, Yura tidak punya niat untuk menjalin hubungan yang intensif dengan si anak baru. Dia tidak tertarik maaf saja. Ini lebih kepada simbiosis mutualisme antara dua manusia yang sama-sama punya kepentingan; Yura yang butuh teman makan dan Khali yang tampaknya membutuhkan pendamping guna beradaptasi di hari perdana masuk Adipura.
Ya. Begitulah.
Tapi ternyata canggung juga kalau di sepanjang jalan tidak ada basa-basi busuk begini. Yura jadi tidak enak.
"Em ... betewe, lo anak mana?"
"Anak sini."
Yura agak kaget. "Emang rumah lo di mana?"
"Di Permata Intan Sentosa."
"Lho? Nggak jauh dong. Kok sekolah lo yang lama kedengarannya asing?"
"Itu sekolah di tempat nenek gue."
"Oh .... Terus kenapa pindah?"
"Agak panjang ceritanya. Intinya karena gue nggak betah di sana aja."
Jawaban yang agak aneh. Alis Yura sedikit terangkat. Bagaimana ceritanya dia bisa tidak betah tapi baru pindah setelah satu tahun lebih dua pekan?
Tapi Yura juga tidak peduli, sih. Tak perlulah kepo-kepo urusan orang yang bahkan tidak akan menjadi teman dekatnya. Buang-buang energi.
"Lo udah keliling-keliling sekolah?"
Khali terdiam sejenak. "Buat apa?"
"Ya ... buat tau denah sekolah, letak-letak bangunan sekolah, ruang-ruang kelas. Adipura emang nggak segede GBK, tapi buat lo yang belom tau seluk-beluknya ya nggak menutup kemungkinan bisa salah ambil jalan juga," terangnya. "Kalo lo mau, abis makan gue bisa jadi tour guide."
"Eh, nggak usah. Nggak usah repot-repot. Makasih udah nawarin."
Yura mendesah kecewa dalam hati. Padahal kalau Khali mau, mereka jadi punya alasan untuk masuk ke kelas agak terlambat. Sayang sekali dia menolak.
"Daripada itu gue lebih butuh info, sih."
"Hah? Info apa?"
"Struktur sosial di Adipura."
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN: Bila Esok
Teen FictionSebagai murid baru, hal pertama yang Khali cari tentu adalah bangku---eh, maksudnya sahabat. Khali tahu kepribadiannya agak sulit diterima dan populasi cewek-cewek yang sefrekuensi dengannya amat jarang, jadi dengan penuh kesadaran dia berusaha untu...