Kalian pernah tidak melihat nenek-nenek hipermetropia tanpa kacamata yang memasukkan benang ke dalam lubang jarum? Kalau belum coba bayangkan, deh. Secara logika saja. Kira-kira bakal langsung masuk atau tidak? Pasti tidak. Pasti akan ada momen di mana benang tersebut meleset ke samping.
Kayak ... eits, tidak masuk.
Hiyak, melenceng.
Begitu, 'kan? Ya, 'kan?
Malah akan sangat aneh dan mengundang kekepoan jika dipercobaan pertama si benang tidak bermasalah. Dan kekepoan semacam itulah yang kini sedang Bayu rasakan. Tidak mungkin hari ini berjalan begitu lancar, persis seperti tidak mungkinnya nenek-nenek tersebut berhasil memasukan benang ke dalam lubang jarum dalam sekali coba.
"Lo ngapain aja tadi?"
"Hah?" Kepala Khali yang membesar akibat proteksi helm maju ke samping kanan. Mereka sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah, bising kendaraan dan tebalnya helm rupanya menurunkan kemampuan mendengar cewek itu.
"Lo ngapain aja tadi?" tanya Bayu sekali lagi dengan suara yang lebih keras.
"Oh .... Nggak ngapa-ngapain, tuh."
Ini dia, saudara sekalian. Sumber kecemasan Bayu seharian ini.
Bukannya tidak bersyukur, Bayu pun berharap pengakuan tetangga depan rumahnya ini benar, bahwa dia memang tidak melakukan hal bodoh yang sekiranya dapat merugikan bangsa dan negara. Akan tetapi, ditelinganya pernyataan Khali terdengar surreal. Tidak nyata. Apalagi fakta kalau Khali itu sering tidak sadar mengenai efek atas perbuatannya yang semau-mau.
Tambah was-was.
Bayu juga ingat, ketika dia masuk kelas bersama guru mata pelajaran setelah menghabiskan jam istirahat di perpustakaan, kelasnya menampilkan gelagat habis membicarakan sesuatu yang heboh. Pembicaraan itu berlanjut tatkala jam istirahat kedua tiba, namun Bayu tidak sempat menanyakannya karena sibuk membawa buku PR ke ruang guru.
Berhubung ini adalah hari pertama si Biang Onar masuk sekolah sebagai murid baru, mau tidak mau Bayu su'uzon, dong. Siapa tahu yang mereka bicarakan adalah siapa yang Bayu pikirkan?
"Coba cerita gimana lo di sekolah hari ini."
"Ini kita lagi berperan sebagai bapak-anak apa gimana? Kok kepo."
"Ck, udah cerita aja. Gue cuma mau mastiin lo emang nggak ngapa-ngapain."
Bunga berbelok ke kanan.
"Nggak. Nggak mau."
"Gue turunin lo di jalan," ancam Bayu.
"Astaga dragon, Bayu! Sementang gue nggak tau menahu jalanan sini, ya. Lo kira gue takut?" Khali malah menantang. "Ya iyalah."
Kalau Bayu lupa dirinya sendiri juga ikut nangkring di atas motor, sudah dia tabrakkan Khali ke baliho obat bisul yang barusan mereka lewati.
"Serius, Khal ...."
"Apa sih yang mau lo tau? Gue cuma nemuin kepala sekolah, masuk kelas, perkenalan, belajar, makan di kantin bareng temen sekelas, balik belajar lagi, istirahat kedua ngedekem di kelas, terus belajar again, abis tu pulang. Udah. Standar. Biasa."
Bayu diam. Kalau merunut pada ucapan Khali, semuanya berjalan mulus. Sangat meragukan. Tapi, Bayu tidak bisa membantah ataupun menyanggah alibinya. Toh, dia tidak ada di tempat.
"Kelas berapa lo?"
"IPA 4."
Sekelas dengan Rades dan Yura. Bayu tidak tahu apakah ini sebuah keberuntungan atau kesialan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAN: Bila Esok
Roman pour AdolescentsSebagai murid baru, hal pertama yang Khali cari tentu adalah bangku---eh, maksudnya sahabat. Khali tahu kepribadiannya agak sulit diterima dan populasi cewek-cewek yang sefrekuensi dengannya amat jarang, jadi dengan penuh kesadaran dia berusaha untu...