"Nah Meira perkenalkan ini kakak-kakakmu, yang ini Doremi," ibu menunjuk anak perempuan tertuanya. "Yang ini Viola," anak kedua tersenyum sambil melambaikan tangannya. "Nah yang ini Cello."
Anak laki-laki yang satu-satunya itu hanya diam dan memasang wajah cemberut. Siapapun yang melihatnya pasti menyadari bahwa Cello tidak menginginkan kehadiran Meira. Setelah memperkenalkan anggota terbaru keluarganya, ibu pergi mengantar Meira ke kamar. Cello dan Viola mengikuti ibu, mencegah kamar mereka di ambil alih.
Sedangkan Doremi langsung mendekati ayahnya.
"Pino?" Sebuah nama keluar dari mulut Doremi, ayahnya yang mengerti maksud putri sulungnya itu langsung menggeleng."Ibu masih belum bisa menerimanya, maafkan ayah karena tidak bisa meyakinkan ibumu kalau Pino sudah tidak ada." Ucap ayah sambil mengusap kepala Doremi.
"Tidak apa-apa ayah, pasti sulit untuk ibu menerimanya." Doremi berusaha bersikap dewasa, walaupun di dalam pikirannya kesedihan menyertainya. Kecelakaan mobil beberapa minggu yang lalu itu merenggut nyawa adik kecilnya.
"Doremi, jangan dipikirkan. Oh ya bagaimana sekolahmu?" Tanya sang ayah.
"Sangat baik ayah, minggu depan, kami akan membuka donasi boneka untuk anak-anak panti asuhan." Doremi berusaha tersenyum, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.
"Anak ayah memang luar biasa." Ayah menunjukkan kedua ibu jarinya. Kemudian matanya beralih ke jari kelingking kiri putri sulungnya itu. Sudah hampir sebulan jari kelingking putrinya itu tidak kunjung sembuh.
Doremi tau, ayahnya sedang berusaha menyembunyikan kesedihan. Dia menggenggam tangan ayahnya dan menarik nafas dalam.
"Ayah tidak perlu menutupinya, ayah bisa menangis dihadapan ku."Malam pun tiba, satu keluarga rukun itu sudah berkumpul di meja makan. Semua menikmati makanannya, ibu memasak banyak menu untuk menyambut Meira.
Ketika Cello hendak mengambil ayam terakhir di piring, suara dentingan garpu ibu terdengar sangat keras, ibu menahan garpu Cello.
"Cello, kamu sudah bukan yang termuda lagi, biarkan adikmu makan lebih banyak." Ucap ibu.
"Tapi bu, kami cuman beda bulan, kenapa ibu pilih kasih." Cello mengerutkan keningnya.
"Mana sopan santunmu di meja makan." Ibu mengingatkan. Cello memutar pandangannya pada ayah dan ayah menangkap keluhan putranya.
"Bu, tadi siang Cello ikut kejuaraan olahraga di sekolahnya, biarlah dia makan lebih banyak." Ayah mencoba menengahi.
"Ayamnya buat kak Cello aja, Mei sudah kenyang." Meira bersuara, dia mengambil ayam terakhir itu dan memberikannya ke piring Cello.
Semua terdiam, keheningan itu berlanjut sampai makan malam itu berakhir. Viola turun dari kursinya dan mengambil biolanya di ruang tengah, kemudian memainkannya. Suaranya sangat merdu, selain biola, Viola bisa memainkan banyak alat musik. Dia selalu memainkannya setelah makan, dia bilang itulah caranya bersyukur dan menunjukkan rasa bahagianya.
Meira merasakan kehangatan keluarga ini, memiliki kakak-kakak yang berbakat, ibu dan ayah yang menyayanginya. Di umurnya yang ke 10 ini, sang pencipta memberikannya hadiah yang paling diinginkannya.
"Ayo semuanya tidur, ayah akan berikan ciuman sebelum tidur." Mendengar itu Viola memberhentikan permainannya dan menyimpan biolanya kembali ke tempatnya. Cello sudah mendahului saudara-saudaranya ke kamar, Doremi berjalan di paling belakang memperhatikan punggung ayah dan adik-adiknya.
Malam itu Meira menempati tempat tidur Pino yang masih di dominasi warna ungu, ayah mencium kening anak-anaknya, mulai dari yang termuda. Ayah mencium kening Meira,

KAMU SEDANG MEMBACA
Rose (Kumpulan Cerita)
AcakKumpulan cerita 1 chapter yang melintas di pikiranku. Tentang negeri imajinasi, tentang action yang aku pendam, tentang takdir dan nasib. Aku tulis disini. 27 November 2020