PART BONUS - 1

424 72 0
                                    

"Aku mau kamu jaga sesuatu yang jadi hal paling berharga buat aku."
—Genta


Matahari sudah mulai bersembunyi. Langit jingga terlukis indah dipandang mata. Masih di atas rumput basah bekas siraman hujan tadi siang, Salfa duduk memeluk lututnya. Taman pinggir kota itu memang selalu jadi tempat favorit untuknya. Penat merasakan kuliah dan segala bebannya, membuatnya nekat pergi sendiri ke taman itu, mencari ketenangan sejenak.

Andai hal-hal indah yang terlewat bisa diputar, ya. Kesini berdua sama Ayah, dan aku naik mobil-mobilan sambil celemotan makan es krim. Lanjut nonton topeng monyet di dekat air mancur. Sayangnya, semua cuma abadi di ingatan. Kenyataannya, Ayah udah pergi, dan aku bukan yang dulu lagi.

Menjadi Salfa yang berbeda selama dua bulan ini, adalah beban. Memang, setelah kejadian waktu itu—yang mengubah cara pandangnya terhadap sang ayah, juga kepada apa yang Tuhan berikan padanya. Namun, dalam menjalaninya, Salfa kehilangan banyak. Kehilangan teman-teman yang semula selalu ada untuknya karena ia lebih sibuk dengan dunianya sendiri, kehilangan kewarasan akibat beratnya pikiran sehingga nilainya merosot dalam mata kuliah, juga kehilangan satu hal penting dalam hidupnya. Wira.

"Jadi, pergi sendiri nggak ajak aku, karena kamu mau nangis disini?"

Suara familiar di telinga Salfa memecah kesedihan Salfa yang khusyuk. Sekilas gadis itu menoleh, lantas segera menyeka air matanya. Dilihatnya, Genta sudah menyusul duduk di sebelahnya. "Tau dari mana aku disini?"

Genta meringis, sambil menyodorkan kantong plastik kecil yang cukup transparan sehingga tampak terdapat es krim cokelat di dalamnya. Salfa menerimanya dengan senyum simpul. Sambil membuka bungkus es krim, ia berbicara lagi, tanpa menatap ke kekasihnya.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ta."

"Yang mana?" balas Genta sengaja.

"Ih ... Ya itu, tau dari mana aku di sini?"

Pemuda yang menikmati soda dalam kaleng yang digenggamnya itu, melirik ke Salfa. Tersenyum. Bukan karena yang lihat adalah gadis paling ia sayang di bumi, namun karena kebiasaan yang sejak dulu tak pernah hilang. "Makan es krim tuh pakai mulut, Sal, bukan hidung," ujarnya sambil mencolek ujung hidung Salfa dan menunjukkan es krim yang berlepotan disana.

"Dari ibu kamu, lah, dari siapa lagi emang?" lanjut Genta kemudian, menjawab pertanyaan Salfa. "Wira masih tetap kayak gitu, Sal?"

Salfa mengangguk. "Iya. Aku benar-benar nggak cuma kehilangan ayah, Ta. Aku juga kehilangan Wira. Kebahagiaannya, senyumnya, bercandanya yang garing, semuanya. Dia selalu di dalam kamar. Nggak mau makan satu meja di ruang makan, dan milih makan sendirian di kamar. Rasanya, rumah itu ... udah nggak hidup lagi, Ta."

"Kasih dia waktu, Sal. Kejadian sebulan lalu itu, membekas banget buat dia."

"Apa dia pikir kejadian itu nggak membekas juga di aku?" balas Salfa dengan intonasi yang menekan tiap-tiap katanya.

"Berhitung sampai sepuluh!" seru Genta ketika menyadari raut Salfa berubah marah.

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Salfa mengikuti instruksi Genta, berhitung dalam hati. Bukan hanya sekadar berhitung biasa, melainkan dengan penuh perasaan. Memberi jeda pada dadanya untuk tenang dan ketegangan yang ia rasa melunak.

"Gimana, udah lumayan tenang?" tanya Genta kemudian, dibalas anggukan oleh Salfa.

Pemuda itu tersenyum tulus, kemudian merentangkan satu tangannya ke belakang Salfa, merengkuhnya. Kekasihnya itupun menyandarkan kepala di bahu Genta. "Berat banget tau nggak sih, Ta ... Aku capek banget, nggak tau lagi...."

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang