Empat Belas : Rasuk

715 138 130
                                    

[Kalau berkenan, jangan lupa follow author agar dapat notifikasi dan info seputar update-an, terima kasih]

Cerita ini hanya fiktif belaka. Semua kejadian yang terjadi hanya karangan bebas penulis, tidak benar-benar terjadi di tempat dan lokasi yang disebutkan.
.
.
.
.
.

Petugas telah memasukkan jenazah ke dalam ambulance, untuk dilakukan autopsi. Sang suami pun ikut, sambil tak berhenti menangis karena teman hidupnya telah pergi meninggalkannya. Disitulah, warga memandang tajam ke enam anak muda dalam keramaian itu, bahkan ada beberapa dari mereka yang geleng-geleng, mengisyaratkan ketidakmengertiannya atas apa yang ada di pikiran keenamnya.

Vin menahan salah satu orang. Seorang lelaki renta yang melewatinya hendak pergi. "Pak, maaf, ini sebenarnya ada apa? Siapa yang bunuh ibu-ibu itu?"

Si bapak masih diam. Meski tak langsung menepis tangan pemuda yang mencegah langkahnya, namun tatapan tajam nan dingin itu berhasil membuat Vin mengerti lantas segera beringsut mundur. Pemuda itu masih menunggu jawaban, begitupun lima temannya.

"Masih tidak mengerti juga kalian?" tajam bapak itu. Terlihat dari ekspresinya yang antara marah dan kesal. Namun, terlihat kentara juga rasa takut itu. Si bapak sempat menunduk sebentar sebelum akhirnya pergi. Ketika itu, ada seorang laki-laki yang lain, berhenti di depan Vin. "Sudah jelas kan semuanya? Kalau kami bicara, kami jadi korban selanjutnya."

Satu per satu orang meninggalkan lokasi terjadinya pembunuhan itu. menyisakan enam orang yang masih shock dengan omongan beberapa orang sesaat lalu. Genta dan Novan, masih terus memperhatikan darah segar yang masih terlihat meskipun sudah ditimbun pasir. Rasanya, kali ini lain. Lebih menegangkan ketimbang gangguan-gangguan yang mereka dapat.

"Apa hantu bisa bunuh orang?" tanya Novan secara langsung sambil menyorot Salfa yang juga masih tertegun.

"S-setau gue nggak gitu, Van. Alam kita sama mereka aja udah beda. Mereka nggak bisa sembarangan masuk ke dimensi kita walaupun hidup berdampingan sama kita," ujar Salfa dengan suara lemah. "Apalagi—apalagi ini secara langsung, p-pakai celurit. Mereka mungkin bisa jadi penyebab meninggalnya seseorang, tapi nggak secara langsung kayak ini."

Gopal merasakan sakit yang luar biasa di kakinya. Pemuda itu merintih, terduduk di atas tanah pasir itu dengan terus memegangi kakinya. "Aarrghh," erangnya.

Semua mata pun tertuju pada Gopal. Panik karena pemuda itu mengeluh tak seperti sebelumnya. Siapapun yang melihatnya pasti akan langsung mengerti bahwa yang dirasakan sakit sekali. Kondisinya sudah darurat, sehingga teman-temannya memutuskan untuk kembali ke rumah tadi karena klinik di sekitar sini tidak ada dan untuk menemukannya, akan lebih memakan waktu.

Pelan-pelan tiga pemuda yang lain mengangkat badan Gopal yang masih terus merintih. Kali ini Gopal ditempatkan di bangku tengah, sementara dua gadis di rombongan tersebut terpaksa harus berbagi duduk di bangku depan. Tubuh Gopal disandarkan ke sisi kanan mobil, sementara kakinya dibiarkan tetap dalam posisi lurus untuk memperlancar peredaran darah, berharap dengan begitu sakitnya bisa mendingan.

"Tunggu, Pal. Sabar. Sampai rumah kita obatin," ujar Kinara yang seringkali menengok Gopal dari posisinya. "Cepetan dong, Vin, nyetirnya!"

"Iya, iya, Ra!" balas Vin dengan kesal karena sebenarnya perasaannya masih belum membaik, sehingga ia merasa tak seharusnya mengemudikan mobil dengan cepat. Orang kalau sedang kalut, tak pernah bisa menduga apa yang terjadi. Begitulah menurutnya.

Sorot lampu mobil memecah kegelapan di jalanan desa. Entah memang benar atau hanya halusinasi semata, sesaat tadi Vin seperti melihat seorang perempuan berdiri di tepi jalan. Rambutnya pendek, tampangnya masih gadis. Ia lantas melirik ke jam analog dalam mobil yang ia kendarai, sudah jam segini, rasanya tak mungkin saja ada gadis berkeliaran sendirian. Terlebih, penduduk sini sepertinya masih tradisional.

AWAKENED [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang