Chapter 1

127 4 0
                                    

"bagaimana? Sudah mendapatkan panggilan untuk bekerja belum?" suara dari seberang telfon. Pertanyaan paling menakutkan dibanding tiupan terompet sangkakala.

Pria itu menggeleng sambil menghela nafas "belum bu, Elang masih terus mengajukan lamaran ke banyak tempat." Jawabnya pasrah.

Elang baru saja menyelesaikan studi strata satu nya di bidang Ilmu Komunikasi. Jaraknya baru satu bulan dari kelulusannya dan ia sudah di hujani pertanyaan mengerikan dari ibunya setiap hari.

"adikmu River baru mendaftar ke Sekolah Menengah Pertama. Banyak hal yang perlu disiapkan. Kalau memang belum menerima pekerjaan. Mintalah pada ayahmu itu, River juga anaknya." Ucap ibu dengan nada ketusnya.

Elang menghela nafas dengan keadaan keluarganya. Ayah dan ibunya bercerai saat ia berusia 10 tahun. Dan kini ia bekerja sebagai perantara keduanya. "ibu kan sudah tau bagaimana respon ayah" balas Elang seadanya.

"mau bagaimana pun dia juga ayahnya. Dia perlu menafkahi anak-anaknya, bukan malah abai seperti itu."

"ibu sudah tau karakter ayah bagaimana, seharusnya kalian berdua yang bicara dan selesaikan perbuatan kalian. Bukan malah menumpahkan semuanya pada anak." Balas Elang tegas. Jujur saja Ia sudah muak dengan semuanya.

"kau kan anak pertama, setidaknya bantu lah ibu. Itu pun untuk adik-adik mu juga. Kau kan kakak, seharusnya lebih paham."

Medengar balasan ibu, Elang jadi membatin, siapa pencetus pertama seorang kakak harus menanggung hidup adik-adik nya dan harus lebih paham tentang segala hal yang terjadi di dalam keluarga. Aku pun baru pertama kali hidup. Permasalahan ini juga baru untuk ku. Jika memilih di lahirkan, lebih baik tidak dilahirkan pertama dan menyandang panggilan "kakak" dalam keluarga.

Sambungan terputus. Tak terhitung berapa kali Elang menghela nafas selama satu jam ini. Ia Kembali mengutak-atik handphone nya dan menelfon sang ayah. Meskipun ia malas dan tau hasilnya, ia tetap melakukannya.

"kau bilang pada ibu mu memangnya siapa yang memberi makan adik-adikmu selama ini? Memberikan tempat tinggal? Lalu dia melempar tanggung jawab seolah sudah melakukan banyak hal" balas sang ayah Ketika Elang menyampaikan pesan dari ibunya.

"bukan kah kalian berdua yang harus bertanggung jawab. Anak adalah tanggung jawab kalian" balas Elang pelan. Ia mencoba menahan emosinya.

"kau juga sebagai kaka seharusnya membantu orang tua mu. Bukan malah kabur ke kota lain tanpa memikirkan keadaan adik-adikmu"

Elang memang mengakui ia salah karena memilih kuliah di luar kota dan tinggal di kos-kosan dengan meninggalkan adik-adiknya bahkan sampai sekarang ia masih tinggal di kota ini meskipun ia sudah lulus. Tapi itu bukan urusannya karena tanggung jawab menafkahi adik-adiknya adalah tugas orang tuanya.

"cepatlah bekerja dan bantu orang tua mu! di usia mu, ayah sudah membantu biaya kehidupan orang tua dan adik-adik. Lihat apa yang sudah kau lakukan sekarang! Menghambur-hamburkan uang untuk kuliah. hasilnya setinggi apapun pendidikanmu tetap sulit mencari pekerjaan. Sulit kalau punya anak keras kepala sepertimu!" ucap ayah dengan nada tinggi.

"memangnya siapa yang ingin dilahirkan dari orang tua yang tidak bertanggung jawab seperti kalian! Jika boleh memilih aku tak mau di lahirkan dari keluarga ini!" kali ini Elang tidak menahan emosinya lagi.

"sialan" Elang mendengus.

Elang langsung mematikan telfonnya dan melempar handphone-nya ke Kasur. Ia ikut merebahkan tubuhya diatas Kasur. Ia menatap langit-langit kamar kosannya. Uang tabungannya tinggal sedikit. Itupun hanya cukup untuk membayar uang kos. Entah bagaimana cara ia bertahan hidup kedepannya.

Elang memejamkan matanya dan membiarkan pikiran kalut mereda dengan sendirinya. Ia terlelap dan tenggelam dalam Kasur yang seolah menelannya. Ia tak sadar bahwa langit semakin gelap dan ikut menelannya dalam kegelapan.

jangan lupa dukung cerita dengan vote, follow dan komen

SAMAYA : 5 YEARS EARLIERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang