Kini Eren tengah berada diruang tamu, menatap bocah dihadapannya yang sedari awal sudah diam tanpa niat berucap sedikitpun.
Armin yang duduk disebelah Eren ikut menatap kearah sang bocah tampan didepannya. Mengenai penjelasan, Eren sudah menjelaskan bagaimana dan kenapa dia bisa terserang demam.
"Aku tanya sekali lagi, kenapa kau bisa berada ditengah jalan? Kau berniat bunuh diri? Apa yang otak kecilmu itu pikirkan?" Berniat menaikkan volume suaranya, namun efek demam membuat suaranya tak mampu keluar lebih keras. Eren meraih segelas air diatas meja guna menetralkan tenggorokannya yang mulai terasa gatal dan serak.
Anak itu tetatp memasang raut wajah tenang, kedua tangannya saling bertaut diatas pahanya.
"Orang tuaku sudah meninggalkan beberapa hari lalu. Waktu itu orang tuaku berniat menjemputku dari sekolah, tapi mereka... mengalami kecelakaan yang membuat mereka tewas ditempat. Aku tidak punya siapapun. Aku ingin menyusul mereka..."
"Apa kau tidak punya saudara? Bagaimana dengan paman? Atau bibi?" tanya Armin menatap iba.
"Mereka semua membenciku. Menyalahkan ku atas kematian ayah. Sedari awal, hubungan ayah dan ibu memang tidak direstui oleh pihak ayah. Bahkan saat aku berada dalam kandungan, mereka tetap membenciku. Berharap saat ibu hamil, kebencian mereka menghilang, tapi justru semakin bertambah..."
"Jika kalian memang tidak menyukaiku, aku minta maaf. Aku akan segera pergi dari sini sekarang juga. Sebelumnya terimakasih sudah menolong dan merawatku untuk semalam."
Eren mengusap setitik liquid yang tak sengaja keluar pada ujung matanya. Melempar senyum pada Armin yang tengah meremat tangannya, memberi sentuhan guna menyemangati sang sahabat.
"Setelah dari sini, kau akan pulang kemana?" tanya Eren berjalan pelan mendekati anak tersebut yang terdiam diambang pintu.
"Entahlah."
"Daripada melakukan hal gila lainnya, lebih baik kau berada disini, membantuku untuk membersihkan rumah ini setiap harinya." Eren melempar senyum termanis yang pernah ia miliki pada bocah dihadapannya yang entah kenapa wajah anak itu memerah dengan sendirinya sesaat setelah menatap terpesona pada senyum yang jarang Eren keluarkan.
"Aku tidak bisa merepotkan-"
"Apa aku akan menawarkanmu tinggal, jika aku sendiri merasa direpotkan olehmu? Aku tak sebaik itu, jika menurutku ini hal merepotkan maka aku akan menjauh dari hal merepotkan itu." potong Eren.
.
.
.
"Tou-chan, lihat gambaran Eren! Bagus tidak?" tanyanya menunjukan sebuah buku gambar dengan sebuah lukisan dimana terdapat 4 orang didalamnya.
Grisha melirik sekilas pada sang anak, "bagus. Siapa yang mengajarkannya?" lantas kembali fokus pada jalanan yang mulai licin tersapu air hujan.
"Heichou yang ajarkan. Hehehe... katanya Eren akan dibelikan 10 burger keju kalau bisa menggambar dengan bagus."
Grisha menatap sang anak dan mengelus surainya lembut, membuat Eren tertawa lucu khas bayi.
Tiin---
Tiin- Tiin-
BRAKK-
"EREN!"
Tubuhnya berjengit kaget sebelum akhirnya menundukan diri. Tatapannya lurus menatap kosong segala yang tertangkap oleh retina miliknya.
"Bukan aku... aku... aku tidak membunuh tou-chan!!! Aku tidak-"
"Eren! Ini aku Armin. Hey! Sadarlah." Armin ingin menangis melihat sahabatnya yang sudah hampir bertahun-tahun tidak merasakan mimpi buruk, tapi sekarang mimpi buruk itu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Story [RiRen]
Fiksi Penggemar[No Desc] BxB Rivaelle x Eren Levi!Seme Eren!Uke Homophobiac diharap menjauh, bagi yang tidak suka silahkan pergi. First story, kalo banyak kekurangan. Y udh sih