Seorang gadis dengan terburu-buru masuk ke sebuah rumah setelah sebelumnya mengucapkan salam. Terlihat banyak perempuan yang sedang mengenakan mukena, bersiap untuk melaksanakan salat asar berjamaah di ruang tengah yang cukup luas itu.
"Zahra, ayo cepet!" ujar Nindi, sahabatnya di Rumah Tahfiz.
"Iya, iya," ucap Zahra sembari meletakkan Al-Qur'an dan tas di atas meja. Ia juga mengambil mukena dari dalam tasnya. Seketika ia menepuk jidatnya. "Astagfirullah, lupa wudhu."
Ia bergegas ke belakang rumah tersebut untuk berwudhu. Setelah itu, barulah ia salat berjamaah, walaupun telat dua rakaat. Nanti Zahra akan menambah dua rakaatnya setelah semua sudah selesai salat berjamaah.
Usai salat, semua santri mulai memisahkan diri, masing-masing membawa mushaf Al-Qur'an. Begitu pula dengan Zahra yang kini sedang mengulang hafalannya di samping lemari sambil sesekali memejamkan matanya, antara mengantuk dan mencoba konsentrasi. Sedangkan Nindi duduk di depan lemari yang sama sambil membaca Al-Qur'an, ia belum menghafal karena masih harus memperbaiki bacaan Al-Qur'an atau disebut dengan tahsin. Itu menjadi syarat mutlak di Rumah Tahfiz yaitu mewajibkan seluruh santrinya untuk tahsin terlebih dahulu sebelum menghafal Al-Qur'an. Selain untuk mempermudah proses menghafal, tahsin juga bertujuan agar ayat Al-Qur'an yang dihafal itu benar bacaan dan maknanya.
Zahra awalnya juga mengikuti tahsin, walaupun hanya enam hari. Saat itu, ia membaca satu juz Al-Qur'an di depan Umi Aisyah, pendiri Rumah Tahfiz. Namun, karena bacaan Zahra sudah hampir sempurna, ia bisa langsung menghafal Al-Qur'an.
"Zahra, sudah siap?" tanya musyrifah di depannya. Untuk setoran hafalan memang tidak langsung ke Umi Aisyah, melainkan kepada musyrifah yang bertanggung jawab menjaga hafalan santri yang sedang setoran.
"Insyaallah, siap, Kak," ucap Zahra mantap. Ia mulai membaca Al-Qur'an yang ia hafal diawali dengan taawuz.
"Shadaqallahul 'adzim." Zahra selesai menyetor hafalannya.
"Barakallah, semoga istiqomah, ya, menghafalnya. Jangan lupa murojaah juga, ya," pesan musyrifah sembari tersenyum kepada Zahra.
Zahra membalas senyum tersebut. "Siap, Kak. Terima kasih banyak, Kak."
"Kembali kasih."
🌿🌿🌿
"Zahra, kamu mau langsung pulang sekarang?" tanya Nindi saat melihat Zahra yang sedang memasukkan Al-Qur'annya ke dalam tas.
"Iya. Biasanya kan, memang pulang," jawab Zahra yang kini mencangklong tas selempangnya di bahu.
"Anak umi yang dari Mesir itu pulang, loh. Kamu nggak mau lihat? Dia yang ngisi kajian habis magrib."
🌿🌿🌿
Kini Zahra duduk di samping Nindi sambil mendengarkan kajian Al-Qur'an yang sedang disampaikan oleh anaknya Umi Aisyah, namanya Daffa. Itu yang Zahra ingat saat lelaki itu memperkenalkan diri sebelum memulai kajian. Entah apa yang membuat Zahra akhirnya mau mengikuti kajian malam? Untuk kesekian kalinya Nindi berhasil membujuk Zahra.
"Ganteng banget, Zah," bisik Nindi sambil menyenggol bahu Zahra dengan sengaja.
"Minta jodohin ke Umi sana," bisik Zahra.
"Iih, Zahra, mana beranilah aku."
Kini mereka saling diam kerena tiba-tiba mendapat teguran dari musyrifah keamanan. Posisi duduk mereka yang paling belakang memang sangat mudah untuk dipergok musyrifah. Apalagi kalau sering mengobrol saat kajian, atau lebih parahnya lagi, ketiduran. Alhasil mereka kembali memperhatikan kajian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra, Al-Qur'an dan Alzheimer
SpiritualBagaimana mungkin bunga yang baru ingin mekar, lalu disiram dengan pahitnya air kehidupan. Membuat impian bagai angan yang sulit digapai. Akankah bunga yang layu bisa mekar kembali? Akankah cita bisa membangkitkan asa? Akankah juang bisa menggapai...