Di dalam sebuah ruangan bercat putih, seorang gadis dengan pakaian berwarna biru muda tampak sedang membaca sesuatu sambil menandai bacaannya itu dengan pensil. Lalu, ia melihat ke langit-langit ruangan itu sembari melafalkan apa yang tadi dibacanya. Kini ia mengetuk-ngetuk jari telunjuk kiri ke badan sofa yang didudukinya.
Sesekali ia beralih mengedarkan pandangan ke arah taman memalui jendela kaca rumah sakit yang sekarang menjadi tempat ia dirawat inap. Taman itu tidak begitu spesial, hanya ada dua pohon ketapang yang menjulang tinggi dengan beberapa ayunan dan perosotan di bawahnya. Teman itu cukup ramai didatangi anak-anak pasien dan penjenguk. Ada juga beberapa orang tua yang sedang duduk di beberapa bangku sekitar taman itu sambil mengobrol santai dengan orang di sebelahnya, tetapi tetap mengawasi anak-anak mereka yang sedang bermain.
Gadis itu merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasi gerak-geriknya. Netra coklat gadis itu menangkap seseorang berpakaian serba hitam, wajahnya tidak terlihat jelas karena tertutup masker.
Gadis itu menggeleng-gelangkan kepalanya cepat sambil memejamkan mata. Perlahan ia mulai membuka mata. Melihat ke bangku tempat seseorang tadi duduk. Dia nggak ada, batin gadis.
Ia mengingat kembali cerita mamanya kalau ia baru saja sadar dari koma selama dua hari. Apa karena itu, sekarang ia bisa melihat makhluk gaib? Seperti cerita yang ada di beberapa novel horor.
***
Anya, Kiya dan Vina sedang berjalan beriringan di koridor rumah sakit.
"Kiya, kamu masih ingatkan nomor kamar yang dibilang resepsionis tadi?" ujar Anya.
"Ingat, dong. Sudah tersimpan di dalam otak aku ini," kata Kiya dengan penuh percaya diri, lalu menunjuk-nunjuk kepalanya sendiri.
"Eleh, awas aja kalau sampe salah kamar."
Vina menghentikan langkahnya ketika melihat seseorang dengan pakaian serba hitam melintasi mereka, lalu berlari ke arah parkiran. Sepertinya aku mengenalnya, batin Vina.
Saat Vina ingin mengejar orang itu, tanganmu dicegat seseorang.
"Vin, kamu mau kemana? Ayo, malah diam aja." Kini Anya merangkul tangan Vina. Vina terpaksa mengurungkan niatnya mengejar orang tadi.
***
Zahra menepuk-nepuk wajah dengan kedua telapak tangannya. Kini ia mulai mengembalikan fokusnya untuk menghafal.
Dia mengaruk-garuk kepala yang tertutup jilbab hitam, terkadang juga memukul-mukul dahinya pelan. Berkali-kali ia melihat ke arah buku itu, lalu kembali menatap dinding putih di hadapannya.
"Sudah, jangan terlalu dipaksa. Nih, serapan dulu," ujar seorang wanita yang baru saja datang.
Zahra menoleh sebentar. "Tanggung, Mah. Satu ayat lagi." Lalu, ia kembali membaca Al-Qur'an yang ia pegang.
"Zahra, makan dulu! Nanti bisa dilanjutin lagi ngafalnya."
"Iya, Mah." Dengan sedikit terpaksa, Zahra meletakkan Al-Qur'an dengan cover hitam itu di atas meja. Setelah itu, ia membuka bungkus bubur ayam yang tadi mamanya bawa.
"Mama sudah minta izin sama Umi Aisyah supaya Zahra bisa istirahat dulu selama seminggu ini. Untuk sekolah sama les juga sudah Mama hubungin walikelas sama guru lesmu. Jadi, Zahra sekarang fokus aja untuk kesembuhan Zahra," ujar Bu Naira yang sedang mengaduk bubur ayam yang satunya lagi.
"Tapi, Mah, ...."
"Ini demi kebaikan Zahra."
"Tapi hari ini kan, hari setoran hafalan Zahra, Mah."
"Iya, Mama tau, tapi Zahra harus pikirkan juga kesehatan Zahra. Zahra pasti masih ingat kan, dengan syarat dari mama dulu?"
"Zahra sehat-sehat aja, kok, Mah."
Bu Naira mengelus pelan punggung Zahra sambil berkata, "Kalau nggak sakit, Zahra nggak akan di sini."
Sakit itu kan, bukan kemauan Zahra, Ma, batin Zahra. Ia tak mampu mengatakannya. Ia hanya diam. Bubur yang ia makan terasa hambar. Bukan karena ia sakit, tapi karena ia merasa telah mengecewakan wanita yang paling ia cintai di sebelahnya.
Maafkan Zahra, Mah, batin Zahra kala melihat wajah mamanya yang tampak layu. Mamanya pasti mengambil jatah cuti lagi demi menjaga Zahra. Mengingat hal itu, Zahra mulai menunduk. Memandang alat infus yang masih menempel di tangan kanannya.
"Kenapa, Zah?" tanya Bu Naira.
Zahra tak menjawab, hanya menggeleng sebagai jawaban bahwa ia tidak apa-apa. Walaupun sebenarnya tidak begitu.
"Kalau Zahra mau tetap menghafal, nggak apa-apa. Asal jangan terlalu memaksakan diri, ya," ujar Bu Naira.
"Iya, Mah."
Tok, tok, tok.
Ibu beranjak dari sofa, lalu membuka pintu berwarna coklat kayu itu. Setelah melihat orang yang mengetuk pintu tadi, barulah Bu Naira mempersilakan tiga orang tersebut untuk masuk.
"Zahra!" Saat melihat Zahra yang sedang duduk. Mereka langsung berhambur memeluk Zahra.
"Kangen banget sama kalian," kata Zahra sambil melihat satu per satu sahabatnya itu.
"Eh, kalian nggak sekolah?" tanya Zahra, bukan tanpa alasan. Karena melihat sahabatnya itu masih mengenakan seragam batik SMA Cendekia.
"Guru-guru pada rapat, jadi kita bisa pulang cepat. Tapi, kami sekalian jenguk kamu dulu sebelum pulang," jelas Anya.
Zahra mengangguk paham.
"Oiya, Zahra. Kami bawa rujak Bang Ole," kata Kiya sambil meletakkan rujak itu di atas meja.
"Wah, bentar, ya, aku pindah dulu Al-Qur'anku." Zahra beranjak, lalu memindahkan Al-Qur'annya di atas nakas.
Bu Naira sedang membersihkan sisa bubur tadi, yang masih ada di atas meja.
Seorang perawat memasuki ruang rawat inap tersebut. "Permisi, Bu. Maaf, apa Ibu orang tua atas nama Zahra Nur Aqila?" tanya suster itu ramah kepada Bu Naira yang baru saja membuang sampah ke tempat sampah di dekat pintu.
"Iya, benar."
"Baik, Bu. Bisa ikut saya bertemu Dokter Mira? Beliau ingin berbicara tentang hasil lab kemarin sama Ibu."
"Baik, terima kasih, ya, Sus."
Sebelum Bu Naira pergi, ia melihat ke arah Zahra. "Ibu ketemu Dokter dulu, ya."
"Iya, Mah."
"Kamu sakit apa sih, Zahra?" tanya Vina pada Zahra yang mulai duduk di kursi yang ia ambil di samping brankar.
"Nggak tau juga," ucap Zahra.
"Ya udah, Zahra, nggak usah dipikirin mending kita ngerujak aja," ujar Anya yang sudah membuka bungkus rujak itu dan sambal kacangnya sudah dipindah ke dalam piring.
Beberapa potongan buah seperti pepaya mengkal, nanas, mangga muda, kedondong, timun, bengkoang dan jambu air yang terlihat segar. Membuat siapa saja yang melihatnya pasti langsung meneguk liur.
"Ayo, serbu!" seru mereka berempat bersamaan.
🌿🌿🌿
.
.
.💌💌💌
🤤
Pengin ikut ngerujak juga.
😭Terima kasih udah membaca.
Jazakumullahu khair.See you next story!
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra, Al-Qur'an dan Alzheimer
EspiritualBagaimana mungkin bunga yang baru ingin mekar, lalu disiram dengan pahitnya air kehidupan. Membuat impian bagai angan yang sulit digapai. Akankah bunga yang layu bisa mekar kembali? Akankah cita bisa membangkitkan asa? Akankah juang bisa menggapai...