Zahra terbangun dengan wajah ketakutan. Napasnya tak beraturan. Bulir keringat membasahi keningnya. Ia mimpi buruk, lagi. Buku biologi SMA yang tadi menutupi wajahnya, kini terlempar ke depan. Terdapat bercak air di buku tersebut. Zahra sedikit merutuki dirinya sendiri yang lupa membaca doa sebelum tidur dan malah ketiduran. Ia mulai mengatur napas setelah meminum segelas air putih yang ada di atas nakas.Zahra melihat ke arah jam dinding di atas jendela. Pukul tiga malam. Ia menutup mulutnya yang sedang menguap. Kemudian menyibak selimut dan berjalan ke kamar mandi.
Sajadah berwarna coklat itu mulai ia gelar di lantai. Mukena putih sudah ia kenakan seusai wudhu. Salat subuh memang masih lama. Ia hanya ingin menenangkan hati dari mimpi buruk yang membuatnya sedikit ketakutan. Mungkin ini cara Allah menegurnya yang sudah lama tak lagi berbincang dengan-Nya di sepertiga malam.
Setelah melaksanakan salat tahajud dua rakaat, ia murojaah hafalan untuk disetor kepada musyrifah di Rumah Tahfiz Al-Qur'an sore nanti. Ia ingat betul dua minggu yang lalu, di mana ia baru mulai memutuskan menghafal Al-Qur'an. Orang tuanya cukup senang. Zahra memang tidak terlahir di keluarga yang agamis, tetapi orang tuanya selalu mendukung anaknya selama itu baik. Mendaftar di rumah tahfiz juga merupakan keinginannya. Walaupun, ia sempat tidak diizinkan ibunya. Namun, akhirnya ibunya mau mengizinkan Zahra dengan syarat jangan sampai ia capek dan sakit. Saat itu, Zahra sangat senang, ia memeluk ibunya. Zahra akan melakukan yang terbaik, batinnya berjanji kala itu.
Sambil menunggu azan subuh. Zahra masih berusaha mengulang hafalannya. Walaupun, masih belum terlalu sempurna. Ia terus mengulang sepuluh ayat terakhir dari surah An-Naba' itu.
🌿🌿🌿
Aroma nasi goreng mulai memenuhi seisi rumah, termasuk kamar Zahra. Ia keluar dari kamar dan pergi ke arah sumber aroma yang sedap itu. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tampak sedang mengaduk-ngaduk sesuatu di wajan.
"Mmm, wanginya enak." Zahra mengirup dalam-dalam aroma tersebut. Dengan gesit ia mengambil sendok dan menyuap nasi goreng yang di wajan ke mulutnya.
"Awas, masih panas itu. Dasar Zahra ini," tegur Bu Naira, ibunya Zahra.
Zahra hanya cengengesan sambil menggigit ujung sendok. Ia sedikit berlari untuk mengambil beberapa piring, lalu meletakkannya di meja, sebelum ibunya mengomel pagi-pagi.
"Tumben sudah mandi, mau ke mana?" tanya Bu Naira sambil memindahkan nasi goreng ke dalam baki.
"Mau jalan-jalan ke taman bareng Pipo habis ini," jawab Zahra sembari tersenyum ke arah ibunya. Pipo, nama kucing oren peliharaan Zahra. Pipo bisa dibilang seperti saudaranya sendiri. Kucing itu juga hadiah dari Bapaknya saat ulang tahunnya yang kesembilan tahun. Menjadi anak tunggal memang sering membuatnya merasa kesepian, tetapi ia tidak harus merasa sedih dengan hal itu.
"Bapa di mana, Mah?" tanya Zahra karena sejak tadi belum melihat bapaknya.
"Lagi nyuci mobil di depan rumah."
Zahra berjalan ke luar rumah sambil membenarkan jilbab hitam yang ia ambil dari gantungan di samping lemari.
"Pak, serapan dulu."
"Iya, sebentar, ya. Zahra duluan aja," ujar Pak Arif sembari merapikan alat untuk membersihkan mobil.
🌿🌿🌿
"Sore ini jadwal setoran hafalan Zahra, kan?" tanya Bu Naira, lalu menyuap nasi goreng ke mulutnya.
"Iya, Mah. Kenapa, Mah?"
"Nggak apa-apa. Zahra besok mulai UTS, ya?"
"Iya, Mah. Doain, ya, Mah, semoga lancar ujiannya."
"Aamiin."
"Zahra yakin mau tetap hafalan? Nggak mau libur dulu? Fokus belajar untuk ujian aja dulu."
"Zahra yakin, Mah, tenang aja. Zahra sudah belajar untuk ujian dari jauh hari. Jadi, bisa sambil hafalan." Zahra mencoba meyakinkan mamanya.
"Sudahlah, Mah. Jangan terlalu banyak mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Bapa juga yakin Zahra pasti bisa," ucap Pak Arif yang setelah itu mendapat tatapan tajam dari Bu Naira.
"Ya, sudah. Yang penting Zahra selalu jaga kesehatan, dan ingat, jangan sampe begadang," pesan Bu Naira.
Zahra merapatkan jari tangan kanannya dan melakukan sikap hormat. "Siap, Mah."
🌿🌿🌿
"Pipo?" panggil Zahra. Ia tidak menemukan kucing kesayangan itu sejak tadi pagi. Ia sudah mencari ke sekeliling rumah, tetapi tetap tidak ada. Dengan rasa putus asa, ia duduk di teras depan rumah sambil bersender di tiang rumah.
"Meowung."
"Pipo?" Zahra mengangkat kepalanya dan melihat seekor kucing sedang digendong seseorang. Zahra langsung berlari mendekati orang itu.
"Kak, itu kucing saya." Zahra memanggil orang yang tadi melintasi depan rumahnya. Orang itu berhenti, kemudian berbalik melihat Zahra.
"Ini kucingku," ucap pemuda itu yang seketika membuat Zahra terkejut.
"Nggak bisa gitu, Kak. Itu kucing saya. Ada kalungnya juga itu. Jadi, nggak mungkin saya salah," sanggah Zahra mencoba mengambil kucingnya kembali.
"Namamu siapa?" tanya pemuda itu sambil menjauhkan kucing itu dari tangan Zahra.
"Kembaliin kucing saya dulu," pinta Zahra.
"Iya, iya, deh. Nah." Pemuda itu menyerah kucing itu ke Zahra, lalu menanyakan nama Zahra lagi.
"Sini Pipo sayang." Zahra memeluk kucing oren itu dan mengelus bulu-bulunya. Setelah itu, Zahra langsung pergi tanpa menjawab pertanyaan pemuda tadi.
"Hei!" Pemuda itu sedikit berteriak karena Zahra tiba-tiba lari ke dalam rumah dan mengunci pintu.
🌿🌿🌿
Zahra mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ia lalu berjalan membawa Pipo ke kamar. Ia letakkan Pipo di atas kasur, setelah itu ia merebahkan tubuhnya.
"Capek juga, lama nggak pernah lari cepat. Nyebelin banget sih, masa dia mau nyuri Pipoku." Zahra mengelus bulu halus kucing orennya itu.
Zahra melihat jam di dinding kamarnya. "Oh, tidak, sudah jam setengah empat." Ia langsung bergegas siap-siap untuk pergi ke Rumah Tahfiz.
"Pipo, kamu jangan ke mana-mana lagi, ya. Di rumah aja. Oiya, makananmu juga sudah ada di samping kandang," ucap Zahra sambil mencangklong tas selempangnya. Al-Qur'an tetap ia pegang di tangan kanannya.
Sebelum keluar ia mengintip dari jendela. Takut pemuda tadi berdemo di depan rumahnya. Itu pemikiran yang sedikit lebai sih, tetapi tidak ada salahnya waspada. Merasa aman, ia mulai membuka pintu dan keluar. Tak lupa, ia mengunci pintu sebelum pergi.
Karena Rumah Tahfiz Al-Qur'an tidak terlalu jauh dari rumahnya, hanya berjarak empat ratus meter saja. Jadi, ia lebih memilih jalan kaki saja.
"Hei, ketemu lagi kita," sapa seseorang dari samping.
Zahra membeku. Dia berharap itu bukan pemuda yang tadi mencuri Piponya. Ia memberanikan diri menoleh ke arah kiri. Tidak ada siapapun.
"Hei, aku di sini," ucap pemuda itu sambil melambaikan tanganmu ke arah Zahra.
Ini horor, pikir Zahra. A'udzu billahi minasy syaithonir rojiim. Ia mendongak kepalanya sedikit ke atas. Ternyata pemuda itu sedang duduk di pagar beton.
"AAaaa." Zahra berteriak, lalu ia berlari dengan cepat meninggalkan pemuda itu lagi.
"Heran, hobi banget lari. Padahal belum tentu dikejar," ujar pemuda itu sambil memakan mangga yang baru dia petik di samping pagar.
🌿🌿🌿
.
.
.💌💌💌
⭐
See you next story.
Jazakumullahu khair.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra, Al-Qur'an dan Alzheimer
SpiritualBagaimana mungkin bunga yang baru ingin mekar, lalu disiram dengan pahitnya air kehidupan. Membuat impian bagai angan yang sulit digapai. Akankah bunga yang layu bisa mekar kembali? Akankah cita bisa membangkitkan asa? Akankah juang bisa menggapai...