DUA-LAQUETA

190 26 17
                                    

Dua

Laqueta berjalan menuju kamarnya dengan cepat, selain menghindari Meesam dan teman-temannya, panas yang menyengat kulitnya membuat Laqueta tidak tahan.

Sesampainya di kamar, baru Laqueta bisa lega. Sudah tidak panas dan juga tidak ada Meesam.

Tadi apa katanya? Berenang? Yang benar saja, Laqueta tidak bisa berenang lagipula meskipun ia bisa, berenang tidak akan menjadi kegiatannya selama berada di sini. Liburan dari perusahaan yang sebenarnya tidak ingin ia ikuti, tetapi rasanya sayang juga jika menyia-nyiakannya, Laqueta ingin liburan untuk menenangkan dirinya yang lelah dengan kesibukannya.

Entah apa yang dipikirkan Aliza, satu-satunya teman yang dimiliki Laqueta itu. Untuk apa ia mengajar Meesam? Hanya karena Laqueta suka membaca buku? Oh, Really?

Meesam adalah bosnya dan Laqueta hanyalah anak buah, bagaimana ia bisa mengajar bos?

"Laqueta." Laqueta terkesiap, siapa lagi yang datang? Suaranya seperti Meesam. Bosnya.

"Iya, Pak." Laqueta langsung membuka pintunya, dan benar saja Meesam sudah berada di hadapannya. Ada urusan apa sehingga bosnya datang kemarin? Apa ia akan dipecat karena bertindak tidak sopan seperti tadi? Oh, no. Laqueta tidak mau dipecat, susah payah dia diterima dan meningkatkan jabatannya hingga saat ini, tidak mungkin dia rela dipecat begitu saja..

"Aku minta maaf soal yang tadi, aku benar-benar nggak bermaksud apapun," ucap Meesam dengan tulus, ia merasa bersalah karena berpikir Laqueta pergi karena pertanyaannya tadi.

"Tidak masalah, Pak," balas Laqueta pelan.

"Pak? Kita tidak berada di kantor." Laqueta lupa, Meesam memang tidak mau dipanggil 'Pak' jika mereka tidak berada di kantor.

"Maaf," gumam Laqueta yang masih bisa didengar Meesam. Ia menghela nafas pelan, tau kalau Laqueta tidak nyaman, tapi bagaimana cara membuat gadis ini nyaman?

"Yasudah, tidak masalah. Ini untukmu, sebagai ucapan permintaan maaf," tutur Meesam lalu mengulurkan sebuah gelang.

Laqueta mengambilnya lalu mengucapkan terimakasih, setelah itu tidak pembicaraan lagi, Meesam yang paham langsung pamit meninggalkan Laqueta.

Laqueta melihat gelang yang diberikan Meesam, untuk apa gelang ini? Apa pria itu selalu memberikan barang sebagai ucapan permintaan maaf?

"Dia pasti selalu menilai sesuatu dengan uang," guman Laqueta sambil melihat gelang itu gelang dengan hiasan berbagai hewan laut. Sepertinya, Laqueta ... tidak menyukainya.

🦋🦋🦋

Meesam masih merutuki dirinya sendiri, ia merasa sangat bersalah karena menawarkan renang di siang hari. Apa yang akan dipikirkan Laqueta tentang dirinya nanti? Dan, ya. Setelah menyadari kesalahannya, kenapa ia harus membeli gelang? Argh, Meesam meremas rambutnya sendiri karena tindakan konyolnya.

"Lo kenapa?" Meesam melepaskan tangannya dari rambut dan menatap orang yang mendatanginya. Dairah. Mana bisa Meesam marah.

"Gue nggak kenapa-napa," jawab Meesam pelan.

Dairah mengambil tempat duduk tepat di sebelah Meesam, pria itu membiarkannya saja, toh Dairah adalah temannya.

"Gue pikir lo lagi sama Laqueta, taunya malah di sini."

Meesam tersenyum kecut, bersama Laqueta? Itu hanyalah impian Meesam yang tidak bisa menjadi kenyataan, Laqueta tidak merasa nyaman berada di dekatnya, bukan hanya di dekatnya, tetapi Laqueta tidak nyaman bersama semua orang. Entah apa masalah gadis itu sebenarnya.

"Laqueta cantik, pantas lo suka," ucap Dairah lagi.

Ya, Meesam membenarkan hal itu. Tetapi bukan itu alasan Meesam menyukainya, Laqueta itu unik, gadis itu pendiam dan tidak banyak tingkah. Dan hal itu yang membuat Meesam tertarik sehingga terus memperhatikannya dan rasa tertarik itu berubah menjadi perasaan yang dirasakannya kini.

"Tapi Laqueta pendiam banget, dia juga kayaknya nggak suka sama kita." Dairah menatap lurus ke depan, lebih tepatnya ke arah pantai yang ramai oleh anak-anak.

"Gimana cara supaya Laqueta bisa nyaman?" tanya Meesam lebih tepatnya kepada dirinya sendiri.

"Laqueta pendiam, berarti lo harus jadi peribut." Meesam mengernyit. Peribut? Meesam baru pertama kali mendengar kata itu.

"Maksudnya?" Meesam menyandarkan tubuhnya lalu melipat kedua tangannya di depan dada, posisi ini lumayan nyaman.

"Lo recoki aja terus, lambat laun Laqueta pasti terbiasa dan nggak mau kehilangan lo." Akhir yang bahagia, tetapi tentu saja tidak semudah itu.

Meesam bahkan sudah kehilangan kepercayaan dirinya jika menyangkut Laqueta. Gadis pendiam, tetapi Meesam merasa bahwa gadis itu rapuh, ada luka dalam keheningannya. Entah perasaannya saja atau memang begitu kenyataannya.

"Ngerecokin Laqueta? Takutnya dia malah berhenti kerja, Rah. Laqueta nggak bisa ditebak." Dairah membenarkan hal itu, Laqueta memang tidak bisa ditebak.

"Yaudah, pilihannya itu cuma dua, pertahankan atau lepaskan." Meesam meringis, memangnya apa yang ia punya sehingga bisa mempertahankan atau melepaskan Laqueta.

Awalnya bagi Meesam perasaannya kepada Laqueta ini cukup untuk dirinya sendiri, Meesam tidak mengharapkan balasan, tetapi semenjak teman-temannya tau tentang perasaannya, maka tidak bisa seperti rencana sebelumnya. Mereka memaksa Meesam untuk terus mendekati Laqueta, sejauh apapun Meesam menghindar, teman-temannya pasti tetap memaksa, terutama Aliza.

"Gue masuk dulu, ya. Capek." Setelah Dairah mengangguk barulah Meesam menuju kamarnya.

Sepanjang perjalanan banyak yang menyapa Meesam, terutama para karyawannya yang sedang berlibur. Meesam adalah bos yang baik, meskipun begitu ia tetap tegas sehingga banyak yang menyukainya, kecuali Laqueta. Gadis yang disukainya malah tidak menyukai dirinya, sebenarnya Laqueta bukannya membenci Meesam, Laqueta hanya suka kesendirian tanpa ada gangguan. Meesam mencoba mengerti akan hal itu.

Tentang Laqueta, Meesam menyukainya sejak mereka masih sekolah. Saat itu Laqueta suka duduk sendiri di kursi pojok sambil membaca novel, hal itu membuat Meesam penasaran karena kebiasaannya itu. Hingga sekarang, ia masih penasaran dan bahkan lebih, Meesam menyukai Laqueta. Berawal dari rasa penasaran.

Meesam tau kalau di dunia ini ada orang yang introvert, tetapi apa separah Laqueta? Orang-orang ngomong dia cuma senyum atau melihat sekitar, Laqueta seperti tidak nyaman di keramaian dan lebih suka menyendiri. Laqueta sepertinya juga menolak kehadiran orang yang ingin dekat dengannya. Penolakannya bukan dari kata-kata, tetapi dari sikap.

Sekali lagi Meesam berpikir, apa perasaannya ini salah? Meesam siap membuat Laqueta nyaman, bahkan dengan cara apapun tetapi Meesam tidak diberi kesempatan sama sekali. Miris.

Sesampainya di dalam kamar, Meesam merebahkan tubuhnya yang sudah lelah. Lelah batin. Seharusnya liburan ini menjadi sarana untuk menenangkan pikirannya tetapi malah membuat Meesam semakin lelah. Jika saja teman-temannya tidak ikut dalam liburan ini, pasti keinginannya untuk istirahat akan tercapai, bukannya malah memikirkan Laqueta. Karena ulah Aliza tadi, Meesam yakin Laqueta akan semakin menjaga jaraknya dengan dirinya.

Bisakah teman-temannya tidak berulah sehingga Meesam semakin jauh dengan orang yang disukainya? Pasti tidak bisa. Teman-temannya tidak akan diam hanya karena Meesam yang masih sendirian di antara mereka, apa salahnya dengan itu? Meesam hanya belum menemukan pendampingnya atau ... belum bisa mengambil hati calon pendampingnya?

🦋🦋🦋

3 Januari 2021
R

evisi: Sabtu, 8 Juli 2023

Laqueta [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang