Chapter 3 || 1888 kata
~°•○●○•°~
18 Desember 1540
"Febra, ada musuh di arah jam 2! Sepertinya ada sekitar 2 orang disana!" Teriak Aras padaku, mencoba memberi peringatan akan bahaya yang mendekat.
Saat ini, kami sedang bersembunyi di sebuah rumah kecil ditengah kota.
Walaupun di tengah kota tetapi keadaannya sangatlah sepi, tak tercium bau-bau kehidupan sedikitpun disini.
Yang ada hanyalah aura membunuh yang terpancar sangat kuat, terutama dari kami berdua.
Sampai sekarang aku telah membunuh sekitar 25 orang, jumlah yang tak begitu banyak bagiku.
Awalnya tim kami berisi tiga orang, tetapi sayangnya salah satu dari kita harus meregang nyawanya selama peperangan.
"Aras! Lemparkan flashbang ke arah jam 2! Setelah itu kita langsung menyerbu mereka!" Sahutku.
"Ay ay kapten!" Balasnya sembari merogoh flashbang di tasnya.
Tit.. tit.. tit.. tit..
Tetapi sebelum dia berhasil mengambil satu, tiba-tiba saja ada suara yang mendekat.
Tak disangka musuh mengambil langkah duluan dengan melempar granat ke dalam rumah melalui jendela depan.
"Aras, minggir!" Teriakku.
Sialnya, granat itu mendarat tepat di pinggir Aras dan meledak sebelum Aras berhasil menghindar.
Membuatnya mau tak mau harus menerima setiap damage dari ledakan tersebut.
Aras pun terhempas dan menghantam dinding dengan keras sampai-sampai menciptakan retakan yang cukup lebar.
"Aras!" Teriakku sembari berlari mendekat.
Tetapi semuanya sudah terlambat, saat ini Aras sudah terbaring tanpa pergerakan sedikitpun dengan tubuh yang penuh darah, tak terlihat ada tanda-tanda dia bernafas, dia hanya diam terbaring disana.
"Sialannnn!!!!!!" Teriakku tak mampu menahan emosi.
"Tak ada ampun bagi kalian karena telah membunuh kedua rekanku!" Ucapku sembari me-reload senjataku yang hampir kehabisan peluru.
Terdengar suara langkah kaki yang mendekat, sepertinya mereka akan mulai melancarkan serangan berikutnya.
Seakan mengetahui jika hanya tinggal satu orang yang tersisa, mereka pun mendekat tanpa ragu, menunjukkan wujud mereka di depan pintu rumah.
Tidak seperti prediksi Aras, jumlah mereka ada empat orang, masing-masing memegangi senjata dan siap untuk membidik kapan saja.
"Jika orang lain yang berada di posisiku saat ini, mereka pasti akan mematung ketakutan seakan semuanya sudah berakhir. Tapi kalau itu aku, tentu saja tidak!" ucapku sembari berlari naik ke lantai dua.
Tanpa pikir lama, mereka langsung berbondong-bondong mengejarku menuju lantai dua, tanpa menyadari kejutan yang telah aku siapkan untuk mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXOUSIA : Febra
FantasyApa yang terjadi jika kehancuran dunia berada dalam genggaman seorang remaja polos? Itulah takdir yang harus ditanggung oleh Febra, seorang murid SMA maniak game dengan masa depan yang tak jelas alurnya. Menjalani hari-hari seperti biasa, hidup yang...