Chapter 4 || 1244 kata
~°•○●○•°~
"Waktuku hanya tinggal 30 menit lagi! Telat satu detik saja maka tamatlah riwayatku!" Aku pun mengambil handuk yang kugantung di kamarku dan langsung berlari menuju kamar mandi di lantai satu.
Sudah sangat lama sekali aku tidak merasakan sensasi ini, perasaan dimana aku terburu-buru berangkat sekolah karena kesiangan.
"Jika saja bukan karena peringatan Kepsek itu, aku mah sudah lanjut tidur daritadi," Batinku kesal.
"Febra." Lariku terhenti setelah mendengar seseorang memanggilku.
Ku tengok kekanan dan kekiri, ternyata itu Ayahku, sedang duduk di ruang tamu sembari menyantap sarapannya.
"Ada apa," balasku.
"Kemarilah sebentar, ada yang ingin Ayah katakan," ucapnya dengan mulut penuh makanan.
"Cepat katakan saja! Aku sedang buru-buru, dan habiskan dulu makanan di mulutmu karena itu tidak sopan."
"Buru-buru? Kamu? Yang dah biasa telat dan alfa? Kerasukan apa kamu? Kau bahkan berkomentar layaknya orang tua?!" Ucap Ayah yang langsung berdiri dan menghampiriku.
"Hmm, begitu ya," dia menaruh tangannya di dahiku lalu menempelkan tangannya tadi ke pantatnya.
"Tubuhmu panas sekali, sepertinya kau memang perlu istirahat," ucap Ayahku.
"Pantatmu saja yang terlalu dingin! Dahlah kalau nggak ada yang penting, aku mau mandi," ucapku kembali berjalan menuju kamar mandi.
"Tunggu, Ayah bahkan belum bicara."
"Terlambat, aku sudah terlanjur masuk," balasku diikuti suara pintu kamar mandi yang kututup perlahan.
"Apa-apaan sih, nggak jelas banget," batinku sembari menggantungkan handuk dan melepas semua pakaian yang melekat di tubuhku.
Kuatur suhu air menjadi hangat lalu kuhidupkan showernya, tapi.
"Kenapa airnya nggak menyala?"
Aku terus memutar-mutar kerannya tetapi tetap saja tidak memancarkan air.
Jika sudah begini, pasti.
"Huft,.. tarik nafasss," ucapku sembari menarik nafas dalam-dalam, "dan lepaskan perlahan."
"Kenapa airnya tidak menyala!" Teriakku diiringi dengan suara dobrakan pintu kamar mandi yang cukup keras memecahkan keheningan.
"Itulah akibatnya jika tak mau mendengarkan Ayahmu," balas Ayah tetap tenang sembari menyeruput teh hijaunya.
"Memangnya apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"
"Sebenarnya," ucap Ayah yang tiba-tiba memasang ekspresi serius.
Aku menelan ludah, "sebenarnya?"
"Shower kita rusak," Ucapnya.
Pernyataan Ayahku membuatku hening seketika.
"Bisa kau ulangi sekali lagi?" Tanyaku.
"Shower kita rusak," balasnya lagi.
"Sejak kapan?!" Ucapku.
"Ayah mengetahuinya ketika mau mandi tadi malam," Balasnya.
"Kenapa bisa?!" Ucapku lagi.
"Bagaimana Ayah bisa tahu? Ayah kan bukan tukang."
"Lantas bagaimana nasibku?"
"Kau akan mati."
"Jangan bercanda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
EXOUSIA : Febra
FantasyApa yang terjadi jika kehancuran dunia berada dalam genggaman seorang remaja polos? Itulah takdir yang harus ditanggung oleh Febra, seorang murid SMA maniak game dengan masa depan yang tak jelas alurnya. Menjalani hari-hari seperti biasa, hidup yang...