Part 10.

384 70 14
                                    

Ingat selalu pesan ibu ya, Ra. Kamu milik ibu yang paling berharga. Tolong bantu ibu untuk menjaga diri kamu.

***

Berada di negeri orang dengan perbedaan musim dan waktu yang sungguh berbeda dari tanah air tak lantas membuat Ara mengubah kebiasaannya. Ia tetap bangun satu jam sebelum subuh, menyempatkan qiyamul lail barang dua rakaat, lalu mandi. Usai subuh ia mengakrabkan diri dengan kalam-Nya. Baru setengah jam kemudian ia memulai aktivitas lainnya.

Berkomunikasi dengan sang ibu menjadi yang pertama dilakukannya. Tak selalu menelepon, kadang hanya berbalas pesan, atau sesekali melakukan panggilan video.

"Kamu sehat kan, Ra?" tanya ibu. Pagi itu Ara meneleponnya.

"Alhamdulillah sehat, Bu."

"Jangan kecapean ya. Nanti kalau tekanan darahmu terlalu rendah terus kamu pingsan kan merepotkan orang lain."

"Ibu kok tahu sih?"

"Tahu apa? Apa kamu pingsan?" Ada kepanikan yang terdengar pada suara ibu.

Aduh, aku salah bicara!

"Eh, m-maksud Ara, ibu kok tahu kalau Ara nggak mau merepotkan orang lain, gitu."

"Tapi benar kan, Ra, kamu baik-baik saja? Jangan bohong sama ibu lho ya."

"Eh, s-sebenernya semalam Ara, emm, Ara pingsan, Bu. Maaf. Ara kecapean bantuin Mas Heru lembur dokumen teknis buat tender. Tapi jam sembilan Ara sudah sampai di apartemen kok. Pingsannya juga udah di apartemen. Aman, Bu." Terpaksa mengaku. Ara paling tak bisa berdusta pada ibunya.

"Astaghfirullah, Ra. Kamu kan lagi jauh dari ibu, jauh dari kampung halamanmu. Harusnya bisa mengukur sendiri kekuatanmu. Jangan diulangi lagi ya, Nak. Selain merepotkan temanmu di sana, ibu juga jadi kepikiran."

Ara merasa berdosa mendengar suara ibunya yang bergetar. Segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan Ara seringkali membuat ibunya kehilangan kemampuan dalam menyembunyikan perasaan.

"Ara nggak apa-apa kok, Bu. Beneran deh. Ibu nggak usah kuatir. Insya Allah Ara akan jaga kondisi lebih baik lagi. Ara janji." Ara berusaha meyakinkan ibunya.

"Terus, kondisimu sekarang gimana?"

"Dari semalam udah baikan kok, Bu. Ara udah makan sup hangat, sajangnim yang kirim. Seger banget deh, Bu. Kapan-kapan Ara mau belajar bikinnya."

"Sajangnim? Malam-malam kirim sup hangat buat kamu?"

Duh, aku kenapa sih? Pakai salah bicara lagi.

"Eh, i-iya, Bu. Emm, dia dekat sama Chun Ae kok, Bu. Ibu tenang saja. Nggak usah mikir yang bukan-bukan."

"Ya sudah, ibu percaya sama kamu. Ingat selalu pesan ibu ya, Ra. Kamu milik ibu yang paling berharga. Tolong bantu ibu untuk selalu menjaga diri kamu ya, Nak."

"Iya, Bu. Maafkan Ara. Ara janji akan jaga diri dengan sebaik mungkin. Ya sudah, teleponnya besok lagi ya, Bu. Ara mau masak biar nggak telat makan. Ara sayang Ibu. Maafkan Ara bikin ibu kuatir."

"Iya, jaga diri baik-baik ya, Ra. Ibu cuma bisa bantu doa."

"Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumussalam."

Panggilan diakhiri. Ara bersiap untuk memasak bagi dirinya sendiri. Chun Ae yang meminta begitu, ia ingin Ara menganggap apartemennya sebagai rumahnya sendiri. Jadi sejak hari kedua di Korea, Ara selalu memasak untuk dirinya sendiri, begitu juga dengan sang tuan rumah. Hanya sesekali saja ia memasak untuk dirinya dan Ara. Sebaliknya, Ara tak pernah memasak untuk Chun Ae. Ia takut salah.

SUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang