Ara, mereka bertanya, apa kau yang akan menjadi istriku? Menurutmu, aku harus menjawab apa?
***
"Shadaqallahul adzim. Alhamdulillahirabbil'alamin."
Ara menutup Al Qur'annya, menaruhnya di atas nakas di sisi kiri tempat tidurnya. Chun Ae masih pulas, semalam ia tidur hampir jam dua setelah kebanyakan meminum soju. Ara sendiri sudah meminta izin masuk kamar sejak sebelum pukul sebelas.
Hampir satu bulan di Korea, sepanjang itu pula ia tak pernah mendengar kumandang adzan di setiap masuk waktunya. Tapi kali ini berbeda. Suara adzan terdengar sayup dari luar kamar.
Ara begitu bahagia, bagai bertemu oase di padang pasir. Tergesa ia menyambar jilbab dan mengenakannya. Begitu membuka pintu, suara adzan terdengar lebih keras dari sebelumnya. Ara menajamkan pendengaran, sumber suara seperti tak jauh dari tempatnya berdiri. Dilangkahkan kakinya menuju ke sana.
Allahu akbar allahu akbar, laa ilahaillallah.
Sang muadzin selesai tepat saat Ara membuka pintu menuju halaman belakang villa. Matanya tertumbuk pada seorang laki-laki yang berdiri menghadap kiblat, mengenakan gamis warna gelap sepanjang betis, dipadu celana panjang putih, sewarna dengan kopiah yang bertengger di kepalanya.
Laki-laki itu menoleh sebelum Ara sempat menghindar. Dua pasang mata pun beradu.
"S-sa-sajangnim."
"Apa suaraku terlalu keras?"
"Tidak. Maaf." Ara menggeleng, bersiap kembali ke kamarnya.
"Salatlah di kamarmu. Setelah itu kutunggu di luar pagar villa."
Ara mengangguk, lalu kembali ke kamar dengan terburu. Ia mandi dan berwudhu, kemudian melaksanakan dua rakaat, disusul dua rakaat yang wajibnya.
Tak sampai setengah jam dari percakapan singkatnya dengan Yeo Joon, Ara terlihat keluar dari pagar villa. Jaket bulu angsa warna marun membalut tubuhnya. Ia celingukan, mencari di mana sajangnim-nya berada. Lalu sebuah SUV berhenti di depannya. Pintu di sisi pengemudi terbuka, Yeo Joon berjalan cepat menuju sisi kanan mobil, dan membukakan pintu untuk si gadis yang berstatus magang di perusahaannya.
"Naiklah."
"T-tapi, k-kita hanya berdua saja? Apakah tidak apa-apa?" Ara mulai ragu.
"Tak apa. Kau bisa mempercayaiku."
"Harusnya Sajangnim tidak perlu membukakan pintu untuk saya. Maaf, merepotkan," ujarnya. Mereka duduk bersisian sekarang.
"It's okey. My pleasure."
Santa Fe abu-abu tua meluncur meninggalkan Sangumburi. Ara masih tak tahu hendak kemana tujuan mereka pagi ini.
"Kau suka melihat matahari terbit?" Yeo Joon membuka percakapan.
"Semua lukisan alam saya suka."
"Kenapa?"
"Sebab selalu mengingatkan saya pada kebesaran dan kekuasaan Sang Pencipta."
"Kita ke Seongsan. Semoga tidak kesiangan. Aku menunggumu terlalu lama."
"Maaf, Sajangnim."
Jalanan masih cukup lengang. Jarak mereka pun tak terlalu panjang. Masih gelap, ketika mereka tiba di Seongsan.
"Ini tempat terindah menikmati sunrise di Jeju. Oh, bukan. Tapi di Korea."
Yeo Joon mulai menjelaskan. Selanjutnya ia banyak bicara di sepanjang perjalanan menyusuri lima ratusan anak tangga. Jiwa tour guide rupanya masih terbawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUNG
General FictionSUNG Sung Jembar Segara. Ara, begitu ia biasa dipanggil. Pekerjaannya di perusahaan suplier alat berat mengantarnya ke Korea Selatan, negara yang menjadi impian untuk ia kunjungi sejak mengenal Dae Jang Geum di masa kecilnya. Di samping urusan peker...