Part 6.

321 66 1
                                    

"Apa yang ada di pikiranmu cuma makanan, Oppa?"

"Tentu saja tidak. Masih ada yang lain. Kamu misalnya."

***

Sama dengan kemarin, Jae Won datang tepat waktu. Oh, bukan! Tepatnya ia datang lebih awal, beberapa menit sebelum waktu yang ditentukan.

Ara menyambut dengan riang. Tangannya yang biasanya menjinjing totebag, kali ini kosong saja. Bawaannya berpindah ke punggung. Dia membawa ransel untuk menampung peralatan dan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat decoupage.

"Kelihatannya cukup berat. Sini, biar kubawakan saja."

Jae Won menawarkan jasa. Mirip petugas angkut di stasiun, yang buru-buru menyambut begitu calon penumpang tiba. Bedanya ia tak mengharapkan upah apa-apa. Entah kalau cinta. Eh!

"Nggak usah, biar aku saja."

Jae Won sedikit memaksa. Ara mati-matian menolak. Ia tak suka dengan perhatian yang menurutnya berlebihan. Kadang ia sebal, sebab merasa mendapat diskriminasi hanya karena dia seorang perempuan. Padahal mungkin yang menawarkan kebaikan tak bermaksud demikian.

"Baiklah. Aku nggak akan memaksa. Aku tahu kamu nggak suka."

Terlambat. Ara terlanjur merasa kesal.

Saling diam sempat menghinggapi keduanya hingga masuk ke SUV yang kemarin membawa mereka. Dari tempatnya duduk di sebelah kanan, Ara menaruh ranselnya ke belakang seat yang diduduki Jae Won.

Mobil mulai meninggalkan area parkir apartemen Chun Ae. Kali ini lagu-lagu berbahasa Korea turut mengalun menemani mereka.

"Aku tak sabar ingin mengetahui cara membuat sesuatu yang kamu sukai itu." Jae Won mencoba mencairkan suasana. Tulus. Ara tahu itu.

"Decoupage?"

"Ya. Aku bahkan kesulitan mengingat namanya. Selalu dakjuk yang terlintas di pikiranku saat mencoba mengingatnya."

Ara tertawa, "Kita makan dakjuk dulu yuk. Aku yang traktir."

Tak ingin membuat gadis di sampingnya kembali kesal, Jae Won langsung mengiyakan. Mengarahkan mobilnya ke kedai dakjuk terdekat dengan toko kayu milik Phil. Sayangnya kedai segala jenis juk atau bubur itu tutup.

"Ah, aku bahkan lupa kalau ini puncaknya chuseok," keluh Jae Won. Matanya melirik Ara, ia lega karena tak menemukan raut kecewa pada perempuan Melayu di sebelahnya itu.

"By the way, kenapa kamu nggak ikut merayakan chuseok seperti yang lainnya?"

"Karena aku nggak punya keluarga."

"Really? Are you serious?"

"Buat apa aku berbohong padamu? Maksudku bukan aku hidup sendirian di dunia ini. Aku hanya tak punya keluarga dekat yang tinggal di sini. Aku lahir di Amerika. Kakek dulu merantau ke sana pasca perang saudara. Dia bilang, negara kami sangat miskin, bahkan kelaparan. Ia terpaksa pergi meninggalkan tanah Korea. Tapi di sana, dia bertemu dan menikah dengan orang Korea juga.

Jae Won menyebut kakeknya dengan grandpa. Bukan harabeoji.

"Daddy sempat kembali ke Korea. Kakek juga. Tapi akhirnya dia kembali lagi ke Amerika. Saudaranya sudah tak ada yang bisa ditemui. Katanya, Korea sudah berubah. Meski ia cinta pada tanah leluhur kami, kenangan sedih saat perang saudara membuatnya memutuskan untuk kembali ke Amerika.

"Daddy juga kembali ke sana, tapi sudah membawa Mommy, dan aku di dalam perutnya." Jae Won tersenyum.

"Jadi keluargamu ada di Amerika?"

SUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang