Girl in The War

30 5 1
                                    

Votenya boleh, kakak?? 😁

°°°°°°°°°°°°
Mungkin kelas Pancasila ini adalah kesukaanku dari semua mata kuliah umum yang ada. Setidaknya hanya di kelas ini jiwa politisku bisa sedikit tersalurkan. Pun karena aku sudah kepalang muak dijejali materi ini sewaktu SMA saat mengikuti ekstrakulikuler empat pilar. Sebenarnya, mengambil jurusan Biologi adalah salah satu keputusan yang sangat aku sesali. Jiwaku bukan disini. Bakatku bukan disini. Sudah berkali-kali aku memikirkan untuk pindah jurusan, tapi mengingat beasiswaku bisa dicabut, aku mengurungkan niat. Tanpa beasiswa ini saja aku tidak bisa kuliah, bagaimana bisa aku pindah jurusan? Aku hanya bisa menyugesti diri sendiri bahwa, mungkin ini adalah jalanku. Toh, sekarang banyak lulusan yang mendapat pekerjaan diluar jurusannya, kan?

"Baiklah, hanya itu yang dapat kelompok kami jelaskan. Jika ada kritik, saran, atau penambahan, kami persilahkan." Naomi, teman sekelasku yang sedikit gempal dan berwajah bulat dari jurusan Pendidikan Fisika mengakhiri presentasinya. Aku dan beberapa teman sekelas mengangkat tangan. Namun aku menarik tanganku dengan cepat saat sadar kalau saat ini baru sesi kritik dan saran, bukan sesi bertanya. Naomi sempat mempertanyakan tindakanku, namun dengan cepat aku menjelaskan jika aku hanya ingin bertanya, bukan memebri krirtik, saran, atau penambahan.

Naomi mempersilahkan teman-temanku yang lain yang ingin memberi kritik dan saran. Aku memperhatikan Keannu yang sedang mengkritik cara penyampaian penyaji yang cenderung kaku dan membosankan. Kelas ini sudah diadakan selama lima kali pertemuan dan Keannu tidak pernah absen memberi kritik yang pedas dengan gayanya yang acuh tak acuh. Kadang aku berpikir bahwa dia sengaja begitu karena dia tahu dia terlihat sedikit keren saat melakukannya. Ya, ya, ya. Dalam pandanganku dia memang keren. Perawakannya yang tinggi sekitar 172 cm, rambutnya yang belah pinggir dan disisir rapi, kacamata kotak yang bertenger di hidung mancungnya, kaos polos dan kemeja yang tidak pernah dikancing, well, dia terlihat seperti cowok pintar yang dingin. Kalau saja aku tidak punya seseorang yang disukai, mungkin aku akan jatuh cinta padanya.

Atensiku teralih saat gawaiku menyala menampilkan pop up pesan Whatapps dari Tata.

"Makan siang bareng, ya. Kangen."

Bibirku tersungging lebar membaca pesan tersebut. Dengan cepat aku ketikan pesan balasan mengiyakan. Aku masih memandangi gawaiku dengan senyuman, melihat centangnya berubah biru dan Tata sedang mengetikkan jawaban, saat Rowena menyenggol bahuku dan mengedikkan dagunya kedepan. Saat kulihat Naomi memandangiku dengan raut menuntut, aku baru sadar bahwa sekarang giliranku untuk bertanya. Mengabaikan semua mata yang memandangku dengan berbagai ekspresi, aku menyampaikan pertanyaan yang sudah aku rangkai sedari tadi. Sewaktu Naomi berbalik untuk mempersilahkan penanya yang lain, Rowena mendekat dan berbisik tepan di telingaku.

"Siapa, sih, sebenarnya yang bucin?" aku menghadiahinya tatapan mautku dan menyikut pinggangnya. Tapi bahkan saat kelas sudah bubar dan aku berjalan menuruni tangga menuju ke kantin FISIP, aku masih memikirkan perkataan Rowena.

Hey, benarkah aku juga bucin?

Kantin FISIP tidak seluas kantin FMIPA, pun tidak selengkap kantin FE, namun ada satu menu kesukaanku dan Tata yang hanya bisa kami dapatkan di kantin ini. Mie Gledek Super Teh Siti. Aku dan Tata adalah penggemar pedas, kami dulu sering berkeliling kota hanya untuk berburu makanan-makanan pedas. Kami menemukan kantin Teh Siti inipun hasil dari keliling kami saat masa orientasi. Saat itu kami telah mengunjungi kantin FIK, FIB, dan FMIPA, namun tidak menemukan makanan yang level pedasnya sesuai dengan selera kami. Kantin FISIP yang juga searah dengan tempat kos dan apartemen Tata kami tetapkan menjadi perhentian terakhir kami, dan untungnya hal itu tidak sia-sia. Kami menemukan mie gledek super Teh Siti ini.

Aku berjalan sendirian menyusuri lorong lantai satu yang diisi kelas sejarah. Rowena punya agenda kerja kelompok setelah kelas berakhir, karena minggu depan adalah giliran kelompoknya tampil, sehingga kami tidak pulang bersama seperti biasa. Lagipula aku, kan, tidak langsung pulang. Pun kalaupun aku mengajaknya makan siang bersama Tata, ia pasti menolak. Ia selalu mengatakan sesuatu seperti tidak mau menjadi obat nyamuk. Padahal dia selalu menyeretku apabila ingin bertemu kak Gugun, huh.

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang