"Ternyata kamu tim bubur diaduk, ya?"
Déjà vu.
Dengan penuh antisipasi yang sebenarnya sia-sia, daguku terangkat untuk menjumpai sosok familiar yang kembali menginterupsi sesi romantisku bersama bubur Mang Agus di Minggu pagi. Demi kesopanan, sudut-sudut bibirku terangkat, memproyeksikan sapaan paling kasual yang aku tahu. Kak Davin langsung saja mempertemukan pantatnya dengan kursi plastik tepat di depanku. Lagi-lagi tanpa repot-repot berbasa-basi bertanya apakah aku keberatan dengan tindakannya itu. Karena sejauh aku bisa memandang, meja di sebelah kiri masih belum punya penghuni satupun. Untukku yang mendeklarasikan diri sendiri sebagai seorang introvert, jelas, pilihan paling ideal bagi Kak Davin adalah duduk di meja satunya itu alih-alih disini.
"Sekeliatan kakak aja gimana." Kalaupun pilihan kalimat dan intonasi suaraku sedikit terlalu dingin, aku tidak peduli. Aku masih dongkol karena ia adalah oknum paling berperan dalam pertengkaranku dengan Tata terakhir kali.
Responnya tidak jauh-jauh dari praduga; terkekeh ringan dengan senyuman andalan. Mencoba tidak menggubris presensi adam di depan, aku kembali memasukkan sesendok penuh bubur ke dalam mulut. Mengunyah dengan pandangan menunduk.
"Kamu marah."
Tidak ada intonasi tanya di dalamnya. Jelas, ini pernyataan bukan pertanyaan. Dan karena itu pula aku tidak tau harus menjawab bagaimana. Pada akhirnya aku hanya mengangkat bahu setelah meliriknya barang sedetik.
"Kenapa?"
Aku kembali mendongak. Menelantarkan buburku untuk sesaat dan hanya mengaduk-aduknya asal. Netraku bertemu dengan sepasang manik kelam itu. Dengan jelas, dalam intonasinya tadi aku menangkap nada bertanya, namun saat menatap manik tersebut, aku tidak menemukan setitikpun citra bertanya. Atau setidaknya seraut seperti ia penasaran dengan jawabanku. Alih-alih, matanya malah cukup menantang sepengelihatanku.
"Serius kakak gak tahu?" aku putuskan untuk mengikuti permainannya.
Manik itu mengedip pelan, namun masih konsisten menabrak irisku. Bahkan ketika Mang Agus menyodorkan bubur di bawah hidungnya, mata itu tidak beralih walaupun bibirnya sempat menggumam terima kasih. Aku, yang sudah agak terbiasa dengan tatapannya walaupun masih merasa canggung, juga berusaha tidak mengalihkan tatapan. Mata itu sama kelamnya dengan gudang di belakang rumahku di kampung. Kosong, tanpa jendela, tanpa lampu, dan tidak pernah dibuka. Bayangkan segelap apa disana. Aku tidak pernah mencoba iseng-iseng untuk masuk ke sana. Tapi manik kelam itu selalu berhasil mengundangku untuk mencoba menyelaminya, menerka-nerka apa saja yang akan aku dapatkan di dalam sana.
Bahu Kak Davin terangkat seraya mulai memperhatikan buburnya. Ia menyedok satu suapan dengan santai, mengabaikan hujaman tajam yang aku layangkan.
"Sekedar hipotesis."
"Tell me! Mungkin hipotesis kakak adalah kesimpulan yang sebenarnya."
Senyum miring terbit bersamaan pertemuan iris kami berdua. "I ask you first."
Ternyata ia bukan tipe yang mudah menyerah. Bibirku mengerucut seraya mempertimbangkan apakah aku harus mengalah lebih dulu atau tidak. Padahal kalau dipikir-pikir, sikap kami ini kekanak-kanakan sekali.
Oh, atau hanya aku yang bersikap kekanak-kanakan?
"Well, yang berkepentingan dengan jawabanannya bukan Vinka, kak. Dan sebenarnya Vinka gak berkewajiban untuk menjawab, kan?" Kalau pria dengan rambut sedikit berantakan khas bangun tidur di depanku ini mengira aku akan mengalah begitu saja, maka ia salah besar. Nyatanya, aku punya ego yang lumayan besar juga. "Kakak yang perlu memastikan hipotesis kakak benar atau engga. Vinka disini justru yang megang kunci jawabannya, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBELUM DESEMBER
General Fiction"Tenang. Kamu gak perlu khawatir. Aku bakalan berhenti mencintai kamu sebelum Desember datang. Janji." •°•°•°•° ©® Cover to the owner