Kalau-kalau, maaf saja bisa menghapus segalanya

56 10 0
                                    

Banyak orang bilang, Citra dan aku adalah sebuah kontradiksi. Berlawanan bagaikan dua ujung kutub yang berjauhan. Yah, sekilas saja sudah jelas, sih. Citra adalah semua yang diinginkan seorang perempuan untuk diri mereka sendiri. Gadis itu cantik tanpa usaha. Seolah-olah ia adalah anak dewi Aphrodite dan kecantikannya memanglah berkah baginya. Ukuran kepalanya tidak lebih besar dari telapak tangannya, matanya sipit seperti ras Tionghoa dan sangat memesona, hidungnya mancung, dan bibirnya berwarna merah cerah alami. Rambutnya panjang lurus sepinggang dan digerai setiap hari, manambahkan kesan anggun apalagi dengan bentuk tubuhnya yang aduhai itu. Sedangkan aku? Well, saat aku TK aku pernah menganggap diriku cantik, tapi sudah sampai situ saja. Beranjak dewasa, standar cantikku berubah dan aku tidak pernah repot-repot mencoba membangun kepercayaan diriku sendiri dan meyakinkan diri sendiri bahwa sesungguhnya aku ini cantik.

Begini, bisa dibilang bahwa sebenarnya aku sedikit gendut. Pipiku tembem sampai-sampai Citra dan Tata sangat suka mencubitinya hanya karena menurut mereka lemak di pipiku rasanya kenyal-kenyal menyenangkan. Jadi, lupakan wajah seukuran telapak tangan, yang ada wajahku seperti ditempeli mochi di kanan-kiri. Mataku besar sekali, sungguh. Tapi justru aku menyukainya, walaupun sewaktu foto wisuda TK, sang fotografer memberikan arahan khusus agar aku sedikit menyipitkan mataku agar saat melihat fotoku orang-orang tidak mengira aku sedang melotot. Hidungku pesek, sialnya. Bibirku sama tembemnya seperti pipiku, dan saat aku tersenyum ia bisa benar-benar melar sampai sekepalan tangan. Rambutku  tidak sepanjang Citra dan anehnya tidak pernah mau lurus, selalu mengikal di ujung tidak peduli berapa kali aku telah memotongnya.  Dan selain mataku, aku menyukai fitur yang tidak dipunyai kebanyakan orang. Well, sebenarnya secara biologi ini cacat, tapi kebanyakan orang menyukainya, dan aku salah satunya. Aku punya lesung pipi di sebelah kanan yang tidak begitu kentara.

Citra 167 cm, dan aku hanya sekitar 160 cm saat terakhir kami mengukur di ruang UKS SMA. Percayalah, walaupun hanya berbeda tujuh sentimeter, berjalan di sampingnya tidak terlalu menyenangkan bagiku. Maksudnya, kami memang sahabat dan kami memang setiap hari berjalan berdampingan, namun dengan semua fitur wajahnya ditambah perbedaan tinggi ini membuatku sedikit minder. Sedikit saja, karena seperti yang ku bilang, aku tidak terlalu memikirkan apa kata orang-orang. Tapi tetap saja perasaan itu tidak serta merta hilang dibawa waktu.

Itu sekedar perbedaan fisik, untuk sifat kami benar-benar 180 derajat berbeda. Sudah ku bilang sebelumnya bahwa Citra pribadi yang mudah bergaul dan aku cenderung introvert, kan? Tapi tidak hanya itu saja, kami benar-benar berlawanan namun juga saling mengimbangi. Semua orang menyukai Citra, tapi hanya segelintir yang repot-repot menganggapku ada. Ia secara ajaib akan membuat tempat mana saja yang di datanginya dipenuhi tawa. Atau setidaknya ia tidak pernah membuat suasana menjadi awkward seperti yang terjadi bila ada aku disitu—tanpa Citra. Pembawaanya benar-benar ringan sekali. Hampir seolah-olah ia menganggap semua orang adalah temannya dan semua orang adalah orang baik. Saat berjalan menuju kelas, ia akan menyapa semua orang yang ditemuinya, kecuali sebelum orang itu menyapa Citra lebih dahulu, dekat ataupun tidak. Kebanyakan, sih, mereka yang akan menyapa terlebih dahulu. Saat masuk kelas, dia akan bertanya random kepada siapapun yang ada disana, seperti Din, tadi malem EXO menang award di GDA, loh. Udah tahu belum? atau yang lebih random lagi dia akan menanyakan tentang menu makan malam salah satu teman sekelas kami. Dan saat ke kantin, dia tidak akan langsung duduk di mejanya setelah memesan, alih-alih dia akan mengajak mengobrol dulu tante kantin, mengobrolkan hal-hal random lain yang aku rasa topiknya hanya akan ditemukan oleh Citra. Atau setidaknya tidak akan ditemukan olehku.

Citra benar-benar mewujud sebagai sahabat yang tak tergantikan. Bahkan oleh orang-orang yang sebenarnya tidak terlalu dekat dengannya.

Jemariku merambat menyusuri bingkai foto kayu yang peliturnya mulai mengelupas. Membingkai dengan apik wajah-wajah remaja berbeda ekspresi tersebut. Ada Citra yang yang sedang memegangi pisau di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang apel. Ia tampak tertawa sebegitu lepasnya sampai kepalanya mendongak dan matanya sempurna tertutup. Yang anehnya masih terlihat sangat amat cantik. Di sampingnya ada Tata yang memberengut sambil melirik Citra sinis. Dan di sebelahnya lagi, aku tengkurap sambil memegangi novel dan mengulas senyum tipis. Foto ini diambil saat kami kelas 9. Saat itu kami menggelar karpet kecil di halaman belakang rumah Citra, menghabiskan hari minggu dengan bercengkrama asik tentang apapun. Kegiatan rutin kami saat minggu datang. Seolah-olah hari-hari yang kami habiskan selama enam hari dalam seminggu disekolah tidaklah cukup untuk kami.

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang