If my future husband is him..

31 5 0
                                    

"Ta. Gimana pendapat kamu sama opini umum bahwa perempuan harus bisa masak?"

Kemarin dulu, aku membaca sebuah cerita di salah satu platform cerita online yang membahas tentang ini. Perempuan dan kodratnya untuk bisa menghidangkan masakan lezat di meja makan untuk suami dengan tangannya sendiri. Penyampaian dan argumennya begitu menarik, sampai-sampai aku juga penasaran dengan opini lelaki-lelaki di sekitarku. Entah ini suatu kelebihan atau kekurangan, satu-satunya lelaki di sekitarku hanyalah Tata.

"Hmm.. kenapa tiba-tiba tanya gitu?" Tata menghentikan kunyahan brondong jagungnya yang baru saja aku buat. Menatapku dengan mata bulat yang berbinar--binar di bawah lampu temaram kitchen bar. Alisnya terangkat satu yang di mataku selalu tampak lucu.

"Cuma nanya. Penasaran sama pendapat kamu."

Irisku mengamati Tata dengan seksama, mengantisipasi jawaban apapun yang akan ia lontarkan. Satu menit berlalu dan ia hanya melanjutkan kunyahannya sambil matanya melirik ke langit-langit. Aku tertawa kecil lalu berbalik untuk mengambil jus di kulkas.

"Serius amat mikirin jawabannya." Godaku, namun Tata masih bungkam dan hanya membalas dengan dengusan.

Hari ini hari minggu yang biasa. Maksudku minggu yang biasa sebelum yah, kejadian Citra. Kemarin malam, Tata mengirim pesan bahwa ia merindukan masakanku dan menyuruhku datang lagi untuk memasakannya sesuatu. Aku mengiyakan karena memang minggu ini aku tidak punya agenda apapun, plus aku ingin sedikit merobohkan tembok tak kasat mata yang menjurangi kami.

Satu jam yang lalu, tepatnya pukul 8 tadi, kami ke mini market membeli  beberapa bahan. Tata memaksa untuk membelikanku beberapa bahan juga, yang dengan berat hati aku terima. Ia mengancam tidak mau menjadi tukang ojek dadakan lagi kalau aku menolak. Menimbang berapa rupiah yang berhasil aku hemat dengan adanya ia sebagai tukang ojek dadakanku, plus berapa rupiah yang berhasil aku simpan untuk bahan-bahan yang ia belikan ini, aku menyerah. Dengan syarat kalau ini adalah yang pertama dan terakhir kalinya. Aku sudah terlalu sering membebani Tata, tidak mau membebaninya lebih jauh lagi.

"Gini. Kalau menurut aku pribadi, perempuan memang gak diharuskan bisa masak. Kodrat perempuan gak seremeh itu. Bukan berarti aku menganggap bahwa aktivitas memasak itu remeh, ya. Maksud aku, perempuan bisa melakukan hal yang lebih hebat dari itu. Mengandung, melahirkan, menyusui, itu semua buat aku udah hebat banget." Tata berhenti untuk menarik napas, mengisi ulang paru-parunya dengan udara. Melihat gelasnya sudah penuh dengan jus mangga yang baru saja aku tuangkan, ia langsung menyambar dan menegak cairan tersebut melewati kerongkongan, setelah sebelumnya menggumamkan kata terima kasih.

"Kenapa hebat banget? Karena aku yakin, lelaki belum tentu bisa melakukan semua itu. Bahkan gak semua perempuan bisa, karena memang kesemuanya—mengandung, melahirkan, dan menyusui itu—sehebat itu. Perlu kekuatan dan keteguhan sebesar itu. Perlu tanggung jawab dan komitmen setangguh itu. Jadi, gimana kami para lelaki bisa menuntut sesuatu yang remeh—kalau dibandingin dengan ketiga hal tadi—sedangkan kalian, para perempuan, sudah seberjuang itu untuk kami? Kurang bersyukur banget, kan, rasanya?"

Aku tertawa mendengarnya. Tata memang tidak terlalu pintar. Ia beberapa kali memang masuk sepuluh besar juara kelas, namun beberapa kali juga tidak. Namun, kadang dia memang bisa menjadi sosok yang cukup filosofis.

"Tapi?" tuntutku lagi. Aku tahu dia belum selesai.

"Tapi," lanjut Tata akhirnya. Kali ini dia tidak menatap menerawang. Iris coklatnya yang sewarna denganku namun sedikit lebih gelap itu tepat menumbuk kepunyaanku. "Kalau aku boleh berharap, aku pengen punya calon istri yang bisa masak. Like, I will be grateful if Ive spent a hectic day, and Im home, and my wife is there with a smile and well-smelled-cooks. Hey, gimana aku gak bahagia kalau kayak gitu? Tapi bukan yang dia belajar masak cuma untuk memenuhi standar masyarakat, ya. Ya sebenarnya gak apa-apa. Cuma aku bakalan lebih suka kalau dia bisa masak karena dia sadar, memasak adalah salah satu kegiatan penting untuk kita survive di dunia. Sesimpel itu."

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang