He said, if boyfriend is not acceptable...

50 6 1
                                    

"Masak apa tadi?"

Aku rasa, selain pertanyaan sudah makan atau belum, pertanyaan semacam ini adalah satu dari sepuluh pertanyaan wajib orang tua kepada anak perempuannya yang pergi merantau menuntut ilmu di kota seberang. Bibirku tersungging kecil sambil mencoret-coret asal lembar terahir buku kuliahku. Aku punya waktu 45 menit sebelum kelas kedua, dan kuputuskan untuk menelpon ibu mengingat terakhir aku menelponnya adalah dua hari yang lalu.

"Tadi masak kangkung. Sama goreng tempe. Ibu masak apa?"

"Bapak minta gulai nila. Kesukaanmu tuh. Coba kalau bisa dikirim kesana tanpa basi, ibu kirimin langsung."

Aku terkekeh mendengarnya. "Disini juga ada yang jual gulai nila kali, bu. Kalau Vinka pengen bisa beli sendiri. Atau malah Vinka masak sendiri."

"Ya iya, sih. Tapi, kan rasanya beda. Cuma ibu yang tahu seleramu tuh gimana."

"Ya, ya, ya. Ibu yang paling ngerti deh, pokoknya."

Di seberang sana ibu ikut-ikut tertawa geli. Keheningan mengerjap selanjutnya. Sudah aku bilang aku tidak pandai mencari topik obrolan, kan. Ibuku pun tidak jauh berbeda.Malah aku yakin jika bakatku ini menurun darinya. Kami sering telponan, namun keheningan seperti ini memang lebih sering mendominasi.

Pandanganku kuluruskan ke depan. Mengamati mahasiswa-mahasiswi yang berhilir mudik setelah kelas selesai. Kebanyakan mereka masih menggunakan jas putih lab, beberapa lagi hanya menyampirkan jas tersebut di tangan atau pundaknya. Beberapa membawa kantung plastik besar yang isinya menyembul keluar, beberapa macam tanaman untuk praktikum. Beberapa lagi justru membawa wadah bening berbagai ukuran untuk menampung hewan, atau bagian-bagian tubuh hewan. Kepala ayam, katak, tikus, kaki seribu, tanduk kerbau, bintang laut, bahkan ubur-ubur. Di samping tasku sendiri ada wadah sedang yang di dalamnya berisi beberapa jangkrik untuk praktikum nanti. Pemandangan seperti ini merupakan pemandangan yang sangat biasa di laboratorium jurusan biologi.

"Sekarang masih di kampus?" suara ibu muncul lagi. Aku mengangguk-angguk, lalu buru-buru mengiyakan saat sadar ibu tidak bisa melihatku. "Jangan dibiasain lembur. Kalaupun terpaksa, sisain waktu barang 2-3 jaman buar tidur. Jangan sampai gak tidur seharian, Ka. Jaga kesehatan. Jaga pola makan. Kamu disana buat nuntut ilmu bukan untuk ndulang  penyakit."

"Iya, bu. Diinget terus pesannya kok. Ibu sama bapak juga sehat-sehat terus. Salam buat mbak Wita. Jangan lupa sering kunjungin nenek, ya."

Setelah mengiyakan dan aku memberi salam, telepon pun terputus. Aku menoleh ke kanan-kiri mencari Rowena yang izin ke kantin tadi. Mendapatinya berjalan santai dari sisi barat sambil menenteng kantung plastik berisi gorengan dan minuman botolan.

"Laporan lo udah jalan?"

Rowena meletakan kantung plastik dan minuman tersebut di bangku diantara kami. Tanganku spontan menggamit tahu susur dan melahapnya, menjawab pertanyaan Rowena setelah satu suapan itu masuk ke perutku.

"Baru dasar teori, sih. Lo?"

Tidak jauh berbeda denganku, mulut Rowena juga penuh dengan makanan berminyak ini. Bedanya ia lebih memilih rissole ketimbang tahu susur.

"Masih ada 5 hari. Santai aja."

Aku berdecak mendengar jawabannya. "Nanti kejar deadline lagi, lembur lagi, gak tidur lagi. Gak kapok, Ro?"

"Itu tugasmu dong, bu bos. Ingetin aku biar gak dikejar deadline lagi."

Mendengar jawaban itu, aku menoyor kepalanya pelan.

"Ih, kebiasaan banget, sih. Otak gue nanti miring gimana gara-gara lo, ha??"

"Bukannya udah miring, ya?"

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang