Tanda Bahaya Siaga Satu

33 6 3
                                    

"Tempat yang luas, ada bola, ada gawang, tapi gak ada cogan."

Mata Rowena menatap datar pada lapangan luas kosong di depan kami. Seperti katanya, kosong melompong tanpa eksistensi manusia satupun kecuali kami berdua. Aku melipat bibirku ke dalam, merasa bersalah karena inisiatifku untuk membuat mood Rowena lebih baik tidak berjalan lancar. Justru yang ada aku malah mengecewakannya.

"Gue gak pernah lihat lapangan ini kosong sebelumnya. Apes banget gak, sih, kosongnya malah pas gue lagi butuh hiburan banget?" Helaan napas Rowena terdengar keras sekali yang membuatku makin merasa tidak enak.

"Sorry." Ucapku lirih. Rowena melirikku singkat lalu terkekeh. Sedetik berikutnya ia meraih bahuku dan merapatkan tubuh kami.

"Hey, bukan salah lo kali."

"Padahal, kan, gue niatnya biar lo agak mendingan gitu."

Tangan Rowena yang melintang di bahuku dijulurkan lebih panjang lagi untuk mengelus-elus daguku bagai anak anjing. "Uluh.. uluh.. lo udah punya niatan gitu aja gue udah mendingan kok. Thanks to you." Rangkulan Rowena terlepas. Ia berjalan mundur sambil  menatap padaku. Aku yang masih merasa bersalah tidak mengikuti langkahnya dan hanya diam di tempat sambil memasang wajah cemberut.

"Karena udah disini, dan kita ga pernah lihat-lihat gedung perkuliahan FIK, gimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Yah, walaupun gak ada bola dan gawang, mungkin kita bakalan ketemu cogan? Dan mungkin muka cemberut lo itu bakal hilang."

Rowena menggerakkan telapak tanganya naik turun di depan wajahnya. Menampilkan ekspresi cemberut dibuat-buat untuk mengejekku. Melihatnya, aku tertawa lebar. Aneh sekali, bukannya aku yang menghiburnya, malah seakan-akan ia yang menghiburku karena aku gagal menghiburnya. Tawa Rowena yang keluar sesaat setelah aku tertawa membuatku jelas merasa lebih baik. Aku berlari mengejarnya, memukul lengannya ringan saat berhasil menyejajari langkah kaki itu.

Gedung perkuliahan Fakultas Ilmu Keolahragaan terdiri dari tiga gedung. Gedung A disisi Utara yang merupakan gedung perkuliahan lama bercatkan kuning langsat yang banyak mengelupas pada beberapa sisi. Gedung B disisi barat merupakan gedung baru. Aku tebak usianya tidak lebih dari tiga tahun. Cat kuning langsatnya masih mengkilap, seolah-olah warnanya berbeda dengan gedung A padahal sama saja. Dari segi desainnya pun jelas sekali jika gedung B ini lebih baru, karena desainnya lebih modern. Sedangkan gedung perkuliahan ketiga adalah gedung tertinggi yang bercatkan hijau lumut. Gedung A dan B hanya terdiri dari lima lantai saja, namun gedung ketiga ini memiliki tujuh lantai.

"Itu gedung pascasarjana." Jelas Rowena saat kami melewatinya dan aku terus mengamati gedung tersebut. Kayaknya, sih, dalemnya bagus. "Tapi jangan kesana deh. Ke gedung B aja, yuk. Arsitekturnya lebih artistic gitu."

Kerlinganku tertuju pada Rowena. "Dan ada kemungkinan Kak Gugun disana, kan?" godaku.

"Dan ada kemungkinan Kak Davin juga disana." Balas Rowena dengan tatapan balas  menggoda.

Seketika aku memberengut. Sejak sore setelah pertandingan itu, setelah Kak Davin memberiku yogurt stroberi, aku belum bertemu dengannya lagi. Pun tidak ada satupun pesan darinya padahal jelas-jelas ia mengatakan kalau aku harus membalas pesannya jika ia mengirim pesan padaku lagi. Tapi bagaimana aku harus membalas kalau dia saja tidak mengirim apa-apa?

Jangan salah sangka. Aku tidak mengharapkan ia mengirimiku pesan atau apa. Hanya saja jika ia tidak berniat mengirimiku pesan lagi, seharusnya ia tidak usah bilang begitu, kan? Perkataanya dan gelagat anehnya padaku hanya membuatku tanpa sadar memikirkan cowok itu. Senyum manisnya, senyum tulusnya, senyum lucunya, senyuman biasanya.

Ugh. Devinka. Not again.

Aku memejamkan mata untuk mengusir citra-citra aneh yang mulai menyesaki otakku.

SEBELUM DESEMBERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang