Another

465 52 14
                                    

Another
By : mymilkiepie

Natal tahun ini seharusnya menjadi natal yang paling ku tunggu-tunggu.

Natal tahun ini seharusnya menjadi natal yang paling bisa membuatku bahagia.

Namun ternyata, natal tahun ini tetaplah natal yang sama seperti tahun sebelumnya. Malah bahkan, lebih menyakitkan.

Aku Hoseok, tapi biasa dipanggil Ari. Loh? Jadi Ari ya?. Fachrizy Hoseok, nama yang ayah berikan untuk putra laki-lakinya ketika baru terlahir ke dunia. Aku terlahir dalam lingkup keluarga yang cukup bisa dibilang nyaman, tapi itu semua berakhir saat ibu menghembuskan nafas terakhirnya dalam pangkuan ayah, karena kebodohanku hingga membuat ibu terkena serangan jantung mendadak.

Semua itu terjadi pada natal 2017 lalu, saat umurku menginjak 19 tahun dan merasa siap untuk mengatakan semua kebenaran didepan keluarga kecilku, termasuk ibu dan ayah didalamnya. Aku mengatakan bahwa, aku, anak laki-laki satu-satunya ibu dan ayah mengalami sedikit perbedaan dari laki-laki lainnya. Aku coming out dihadapan ayah dan ibu di hari itu. Mengatakan bahwa aku ini, anaknya, adalah seorang gay yang menyukai laki-laki dan bukan perempuan.

Lalu, ibu terkejut hingga mengalami serangan jantung mendadak. Tidak percaya kalau anaknya ternyata menyukai laki-laki juga. Sedangkan, ayah yang terlarut dalam kepanikan lantas bolak-balik menelepon ambulan untuk sesegera mungkin membawa ibu untuk diberi pertolongan.

Kakak perempuanku memeluk ibu khawatir, bibirnya bergerak seakan merapalkan segala doa yang ia hafal untuk keselamatan ibu. Malam itu hancur, sangat hancur. Ayah memakiku seraya mengarahkan jari telunjuknya ke depan wajahku. Ayah meneriakiku dan berkata kalau sampai terjadi sesuatu yang buruk menimpa ibu, itu semua salahku.

"Anak tidak tau di untung kamu Ari!" begitu ucap ayah dengan raut wajah memerah karena marah dan emosi.

Aku terdiam, hanya bisa berdiri mematung dari samping kakakku yang terus memeluk ibu. Kemudian ayah mengambil alih ibu dari pelukan kakak. Ayah sangat mencintai ibu, aku tahu itu.

Terlihat jelas dari tatapan matanya yang begitu cemas memandangi ibu dengan air mata yang berderai. Kakak menangis sejadi-jadinya, ikut berdiri disampingku. Aku pun begitu, meski air mataku tidak begitu saja luruh. Aku mencaci maki diri sendiri, menyesali perbuatanku yang membawa petaka dengan berkata jujur, dan membenci diriku sendiri. Mengapa aku terlahir berbeda? Mengapa seorang Ari tidak mencintai perempuan saja agar ibunya tidak seperti ini. Bahkan, kakakku yang sangat akrab denganku saja kini menjaga jaraknya berpijak, sedikit menjauh dariku saat aku ingin merangkul pundaknya.

Keluargaku membenciku. Semua orang membenciku.

Aku berlari kecil keluar rumah, mencari tempat untuk meluapkan sesak. Cukup jauh dari rumahku. Suara sirine ambulan kemudian menyapa indera pendengaranku, aku biarkan medis bekerja sementara menunggu kabar baik dari ibu aku berjalan entah kearah mana. Aku tidak punya tujuan, sambil sesekali menendang kerikil yang ada didepanku. Berdoa jauh didalam hati kepada Tuhan agar ibu diberi keselamatan, dan berharap suatu hal baik berupa keajaiban atau mu'jizat Tuhan segara mengabariku.

Namun ternyata, kabar baik itu tidak pernah sampai ke telingaku, bahkan tidak pernah ada hal baik untuk keadaan ibu saat itu. Ibu berpulang dipangkuan ayah, tepat beberapa menit sebelum akhirnya ambulan tiba di pekarangan rumah.

Untuk berjalan saja kakiku rasanya tidak sanggup. Mengingat semua penyebab kekacauan ini adalah keegoisanku sendiri yang ingin memberitahukan sesuatu yang bahkan aku pun tidak tahu, hal itu bisa jelas diterima atau tidaknya. Aku merutuki diri sendiri, menyuarakan serapah yang ku tujukan untuk diri sendiri. Merasa semuanya akan baik-baik saja setelah kejadian itu, padahal kenyataannya bertolak belakang.

ᴘᴀɴᴅᴏʀᴀ ʙᴏx : ʙɪʀᴛʜ ᴏғ ʜᴏᴘᴇ.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang