TAKDIR....
Untuk sesaat aku sangat ingin menertawakannya. Begitu rumit kah kisah yang telah di tetapkan-Nya untukku. Hingga rasa sakit yang teramat harus ku rasakan saat ini. Miris sekali rasanya.
Hatiku bergetar saat suara ledakkan dari petasan sudah terdengar menandakan rombongan dari mempelai pria telah tiba. Acara yang sudah di nantikan oleh banyak orang kini akan segara di mulai. Mereka di sambut dengan begitu bahagia. Namun berbeda dengan diriku, entah kemana perginya rasa itu. Saat ini yang ku rasa hanyalah sesak di dada.
Setelah acara pembukaan terdengar suara tegas nan gagah dengan lancar mengucapkan kalimat sakral hingga para saksi dengan serempak mengucapkan kata "sah".
Runtuh sudah segala harapan yang selalu aku langitkan dalam do'a di sepertiga malamku. Mungkin ini yang di namakan kecewa karena terlalu berharap kepada selain-Nya. Tanpa di minta cairan bening menorobos pertahanan di pelupuk mata. Ingin sekali rasanya menangis sekencang mungkin untuk meluapkan apa yang sekarang ini aku rasa namun ada sesuatu yang menahan agar aku tidak melakukan itu.
Sepasang tangan halus memegang tangan kananku erat membuatku menoleh ke arahnya. Wajahnya berbinar bahagia dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.
"Alhamdulillah, Qi," ucapnya kepadaku.
Wanita berbalut gaun putih ini sungguh terlihat memesona. Dengan make up natural saja sudah menambah kecantikannya. Melihatnya membuat aku tersadar jika seharusnya aku turut berbahagia atas kebahagiaannya saat ini.
Aku memeluknya dengan erat dan tangisku mulai pecah. "Maafkan aku, Ra," itulah kata yang pertama kali ku ucapkan kepadanya yang saat ini telah sah menjadi seorang istri. Aku sungguh terlihat jahat bukan? Aku merasakan sakit atas hari bahagia sahabatku sendiri.
"Kamu kenapa Qi? Minta maaf untuk apa?" tanyanya.
Mungkin saat ini dia sangat kebingungan kenapa aku bersikap berlebihan seperti ini.
Aku menggelengkan kepala.
"Selamat Ra, hari ini kamu telah sah menjadi seorang istri," ucapku memberikan selamat.
Dia mengelus punggungku, sepertinya dia mencoba untuk menenangkanku.
"Makasih Qilla." Zahra melepaskan pelukan. "Kamu jangan nangis terus nanti make up kamu luntur loh." Dia meraih tissue di meja dan menghapus air mata yang membasahi pipiku. Hari ini aku menjadi bridesmaid untuk pernikahan Zahra, sahabatku. Aku sedikit risih karena dia memaksaku untuk memakai make up, aku tidak biasa memakainya. Namun karena ini hari spesial untuknya aku bersedia melakukan apa yang dia inginkan.
"Meskipun aku sudah menikah, akan ku pastikan kita masih punya waktu bersama," kata Zahra.
Aku menarik kedua sudut bibir dan mengangguk tanda mengiyakan.
Aku berharap rasa ini akan segera sirna karena aku tidak ingin menjadi orang yang jahat untuk Zahra. Mencintai laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya.
Sebenarnya bukan takdir yang salah namun aku yang terlalu berharap kepada selain-Nya. Hingga Allah menegurku dengan memberikan rasa pedih dari sebuah pengharapan kepada makhluk-Nya. Aku salah karena telah mempersilahkan dia masuk dan bersemayam di hatiku. Memupuk rasa dengan segala hal yang aku suka darinya.
🍁🍁🍁
Sukabumi, 2 Syawal 1442H
Ghina Nurul PazriAssalamu'alaikum....
Alhamdulillah akhirnya aku bisa up cerita baru. Gimana nih pendapat kalian?
Dukung cerita ini dengan cara vote dan komen ya :D ambil baiknya buang buruknya :)See you 💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari kedua
SpiritualSebenarnya bukan takdir yang salah namun aku yang terlalu berharap kepada selain-Nya. Hingga Allah menegurku dengan memberikan rasa pedih dari sebuah pengharapan kepada makhluk-Nya. Aku salah karena telah mempersilahkan dia masuk dan bersemayam di h...