"PULANGLAH. Kondisinya semakin memburuk, Dokter bilang dia tidak akan bertahan sampai esok pagi."
Bergetar, tangan yang biasa kekar lagi kuat itu ragu menekan tombol kirim pada layar tipis di genggamannya. Pesan berisi 13 kata hanya menggangtung, menunggu persetujuan dari sang empu untuk lepas landas, melesat menembus langit malam.
"Kalau ragu jangan dikirimkan, biarkan saja. Toh ini bukan hal yang serius."
Terbatuk, dari sampingnya suara yang amat lirih berucap. Sang pria menatap sosok itu dengan wajah yang sukar dijelaskan. Jerit hati ingin menangis melihat seonggok tubuh yang pucat layaknya kapas, terbaring takberdaya dengan berbagai macam alat bantu hidup melintang di tubuhnya.
Demi melihat kondisi itu tekadnya mengukuh. Dia tidak ingin menyesal karena sudah salah dalam mengambil keputusan.
Semua orang berhak hidup, entah dengan cara seperti apa dia mempertahankan kehidupannya itu.
"Aku akan mengirimkannya." Si pria bertekad.
Dan lepas mengatakan itu dia menekan tombol send. Dan bagai lesat anak panah (ah, bisa juga ratusan kali lebih cepat dari itu) andai saja mata kita bisa melihatnya, pesan itu terbang menembus langit malam menuju BTS terdekat dan kemudian dilempar kembali ke satelit komunikasi sebelum kembali ke bumi. Mencari nomor yang dituju.
Message succesfully
"Padahal kakak tidak usah repot mengirimkannya,"
"Kenapa? Dia saudaramu, berhak tahu."
Sekalipun dalam kondisi sekarat, sosok yang terbaring lemah di atas ranjang itu masih sempat-sempatnya tertawa. Entahlah sebetulnya apa yang dia tertawakan.
Mungkin dirinya sendiri ....
Mungkin pula kenyataan yang hanya dia yang tahu.
"Satu-satunya yang ada di antara kami hanyalah kebencian. Dan rasa benci tidak pernah menghadirkan perduli."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
REDEMPTION (#2 RANJAU)
Ficção CientíficaWARNING! 18+ Setelah berhasil menyalakan api peperangan besar di Pesanggrahan Bubat, Rakilla Huan Mei, Manusia yang dikirim ke masalalu akhirnya memutuskan untuk kembali ke masa depan dan menghapus semua ingatan orang-orang pada zaman itu di ujung h...