"Aku hanya mencari jawaban, atas semua tanya yang tak pernah bisa diutarakan."
***
Hujan.
Ah ya, sejak semesta diciptakan ... berapa banyak butir air itu sudah berhasil jatuh ke atas bumi? Kau bisa menghitungnya? Tentu saja tidak bukan? Mustahil.
Astaga ... maaf, ralat kata mustahil barusan. Di dunia ini pada dasarnya tidak ada yang mustahil, semuanya mungkin selama kau bersedia untuk melakukan itu. Sama banyaknya dengan jalan menuju surga dan neraka, jalanmu untuk mewujudkan sesuatu hal yang mustahil itu juga seperti itu.
Rafisha mematung di tempatnya, menyandarkan bahu ringkih nan kecil itu pada sebuah pillar, menatap kota Dubai dibalik dinding kaca yang tampak buram, bahkan sama sekali tidak terlihat. Gumpal awan hitam membungkus kota dengan segala kemewahan dan keindahan itu bagai selimut malam.
Di bawah sana hujan mengguyur dengan deras sepertinya.
Ah ya, berada di lantai ke ... entahlah keberapa, yang jelas di puncak Burj Khalifa di lantai paling atas membuat dia berada dalam wilayah yang tidak terjangkau awan.
Ini sudah bukan satu dua kali, mungkin ratusan kali sejak menara itu dibangun, entah mungkin karena semakin hari awan semakin senang mendekati tanah atau menara itu yang terlalu tinggi. Bahkan setelah hampir 70 tahun ... belum ada yang berhasil menyusul tingginya.
"Secangkir cokelat panas akan nikmat saat hari berhujan seperti ini."
Suara bariton yang dalam membuyarkan lamunan. Pria berjas putih dengan luka menganga di mata kanannya tersenyum tipis seraya mengasongkan cangkir kramik yang tampak masih berasap. Aroma cokelat bercampur gula sampai juga indera penciuman gadis itu.
"Aku bahkan tidak merasakan hujan itu dokter Lee." Rafisha menghela, meraih cangkir yang diberikan setelah sebelumnya mengangguk kecil tanda terimakasih.
"Baguslah ... bukankah kau membenci hujan?" Lee Yoon Gi menaikan sebelah alisnya, ikut berdiri di depan dinding kaca. Mengamati gumpal awan hitam di bawah sana.
"Aku tidak membencinya dokter, aku hanya membenci kenangan yang selalu melintas saat air itu turun." Rafisha menyanggah, bibir tipisnya ragu mendekatkan pada cangkir menyesap cokelat panas yang entah kenapa serasa membakar lidah.
Lee Yoon Gi tersenyum tipis, menatap iring-iringan kepolisian yang tampak sedang melakukan patroli dengan Flyin-Car nya. Seperti larik kunang-kunang di tengah salju. "700 tahun lalu pemandangan seperti ini belum ada." Dia bermonolog.
"Semua terasa sederhana dan mudah, sekalipun butuh waktu yang cukup lama untuk melakukannya." Dia melanjutkan.
Rafisha terdiam, menatap iris kelam dari pria di sebelahnya dengan pandangan sarat makna. "Apakah kau masih kecewa atas keputusanku mengirim leluhurmu ke masalalu?"
Hening.
"Apakah diam-mu ini berarti 'Iya'?" Rafisha kembali bertanya ketika dilihat pria itu tidak tampak akan menjawab pertanyaannya.
Masih hening.
Saat ini pria itu bahkan sudah berbalik arah dan mulai beranjak pergi. Mendekati pintu lift khusus yang akan membawanya ke Lab utama. Rafisha ragu sesaat sebelum akhirnya membulatkan hati dan mengikuti kemana laki-laki itu pergi.
Yoon Gi terlihat menekan beberapa panel kontrol begitu memasuki lab. Dia tampak serius menggeser beberapa ikon di layar hologram yang terpampang di hadapannya. Dan tak lama suara berdesing yang cukup nyaring terdengar. Sebuah tabung raksasa perlahan keluar, kepul asap tipis serta sinar kehijauan turut menyertainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDEMPTION (#2 RANJAU)
Science FictionWARNING! 18+ Setelah berhasil menyalakan api peperangan besar di Pesanggrahan Bubat, Rakilla Huan Mei, Manusia yang dikirim ke masalalu akhirnya memutuskan untuk kembali ke masa depan dan menghapus semua ingatan orang-orang pada zaman itu di ujung h...