"Dasar wanita sial! Gak punya mata apa? Orang lagi jalan malah ditabrak. Bajuku jadi ketumpahan minuman nih!" bentak seorang wanita paruh baya berpakaian ala tante metropolitan.
"Maaf, Bu. Saya gak sengaja. Saya memang gak bisa lihat jalan. Mohon maaf sekali lagi," sesal Syakina.
Wanita itu berdecak. Ia memperhatikan tingkah Syakina yang berjalan dengan tongkat. Dari raut wajahnya ada rasa malu, tapi akhirnya malah melenggang begitu saja.
Syakina menghela napas pendek. Bukan sekali dua kali ia mengalami kejadian seperti tadi. Kalau bukan karena matanya yang buta sejak kecil, tak akan mungkin dimaki dan dicemooh orang berkali-kali. Namun, dibalik kekurangannya, ia memiliki kelebihan lain.
Tak mau berlama-lama di jalanan, ia melanjutkan langkahnya. Hawa dingin menusuk kulit. Deru kendaraan di jalan mulai sepi terdengar. Indera matanya tak merasakan lagi begitu banyak cahaya di netranya. Lebih gelap pekat dari sebelumnya. Syakina tahu hari sudah malam. Karenanya ia memutuskan pulang.
Di halte bus, gadis muda itu berdiri sendiri. Ia pegang erat-erat barang dagangannya yang masih banyak tersisa.
Sebuah mobil bus umum berhenti di depannya. Sang kondektur meneriaki arah tujuan. Syakina tahu itulah bus yang ia tunggu sejak tadi. Dengan langkah meraba-raba jalan, Syakina berhasil naik ke dalam bus. Ia duduk di salah satu kursi kosong. Malam itu tidak terlalu banyak penumpang. Syakina bisa merasakannya dari aroma tubuh para penumpang yang tidak terlalu banyak aneka rupa.
Sang kondektur berjalan perlahan-lahan dari arah depan untuk menagih ongkos. Dari langkahnya Syakina bisa tahu. Ia pun segera menyiapkan uang.
Namun, seorang pria tiba-tiba berteriak di dalam bus.
"Dompetku! Dompetku mana?"
"Hilang dompet, Mas?" tanya kondektur tak percaya.
"Iya lah Bang. Tadi dompetku masih di saku celana. Kenapa sekarang gak ada?" Pria itu kebingungan.
"Beneran hilang atau pura-pura hilang biar gak bayar nih?" Kondektur menaruh curiga.
"Beneran, Bang. Saya kehilangan dompet. Tadi sebelum naik masih ada kok. Saya yakin banget," sanggahnya.
"Ya udah kamu berhenti aja di depan. Enak aja mau naik gratis," cetus kondektur kesal.
"Yah jangan begitu, Bang, Tempat berhenti saya masih jauh banget."
"Udah duduk aja dulu!" seru kondektur masa bodoh.
Syakina mendengarkan dengan baik pembicaraan kedua orang tersebut. Aroma wangi menyeruak di indera penciumannya. Pria itu rupanya duduk di depan Syakina.
"Stop! Stop!" Seorang penumpang pria lainnya berteriak minta turun. Aroma tubuhnya yang apek dan bau rokok terendus hidungnya dari jauh.
Langkah kakinya dapat dirasakan makin mendekati kursi Syakina.
Tiba-tiba pria bau apek itu terjatuh. Ia tersungkur di samping Syakina. Lalu melirik ke arahnya kesal.
"Hei, tongkatmu itu ngalangin jalan tau. Minggir!" hardiknya emosi. Suaranya menarik perhatian penumpang lain.
Ia berusaha bangkit tapi tongkat Syakina malah mendarat di punggungnya dengan keras. Pria itu tersungkur lagi.
"Apa-apaan nih? Mau cari mati sama gue?" Secepatnya ia berdiri tapi Syakina malah memukulnya lagi hingga jatuh ketiga kalinya. Kejadian itu makin menarik perhatian penumpang lain. Sang kondektur pun mendekat.
"Eh, Mba, tolong jangan pukul orang sembarangan! Salah bapak ini apa kok malah dipukulin?" tanya kondektur heran. Ia membantu pria apek itu berdiri.
Ketika akan pergi, Syakina memukul kakinya hingga ia merintih kesakitan. Sontak membuat emosinya naik ke ubun-ubun. Pria itu hendak menjambak rambut Syakina, tapi pria yang hilang dompet mencegahnya.
"Sabar, Bang. Sabar! Mbanya gak bisa lihat. Tolong maafkan aja, Bang!" pinta pria bau wangi itu.
Mengetahui kondisi Syakina yang buta, akhirnya pria apek itu memaklumi. Sebelum dia benar-benar pergi, Syakina malah memukul perutnya dengan tongkat lagi. Ia langsung membungkuk menahan nyeri.
"Dasar wanita buta gila! Apa salahku dipukuli terus?" makinya kesal bukan kepalang.
"Tahan Bapak itu! Jangan sampai dia pergi! Dia pencopet!" ungkapnya.
Pria apek itu terperanjat. Semua mata di dalam bus mengarah padanya. Termasuk pria wangi yang kecopetan tadi.
"Eh, Mba jangan asal nuduh ya! Saya bukan copet! Sembarangan aja nuduh!" bantahnya.
"Kalau bukan copet coba buktikan! Geledah tubuhnya! Pasti ada dompet yang hilang tadi," titah Syakina.
Awalnya pria apek itu menolak di geledah, tapi pria yang kecopetan tadi berusaha memeriksa seluruh tubuh dan pakaiannya dengan dibantu sang kondektur. Sesuai dugaan Syakina, ditemukan sebuah dompet kulit berwarna coklat.
"Ini dompet saya!" pekik pria wangi kegirangan. Ia mengacungkan dompet itu ke atas. Para penumpang akhirnya percaya jika pria itu benar-benar kehilangan dompet dan pria apek itu pencopetnya.
"Dasar maling! Mati aja sana!" umpat pria wangi emosi. Ia memukul wajah copet itu. Bahkan sang kondektur pun turut memukulinya. Beberapa penumpang ikut mendekati membantu pemukulan itu. Ikut terbawa emosi. Pencopet itu kesakitan dan memohon ampun berkali-kali. Wajahnya sudah biru lebam tak berbentuk.
***
"Mba, makasih banyak ya sudah nangkap pencopet itu," pria wangi tadi ikut turun saat Syakina turun dari bus.
"Sama-sama, Mas," jawabnya.
"Tapi kok bisa tahu kalau dia pelakunya?" tanyanya penasaran.
"Dari aroma tubuh, Mas."
"Aroma tubuh? Kok bisa?"
"Tadi waktu naik bus, Mas duluan kan yang naik. Tubuh Masnya bau wangi. Parfumnya kuat banget aromanya. Hidung saya sampai gatel. Terus disusul bau apek dan rokok dari orang lain di belakang Masnya. Setelah itu baru saya naik. Jadi tadi waktu Mas gembar gembor kehilangan dompet, terus orang bau apek itu mendadak ingin turun, saya jadi curiga dia pelakunya. Makanya sebelum dia kabur, saya pukul dia duluan," ungkap Syakina panjang lebar.
Pria itu manggut-manggut. Lalu kembali bicara, "Nah gimana kalau ternyata bukan dia pelakunya?"
"Kalau dia bukan pelakunya?" Syakina balik bertanya.
"Iya. Gimana tuh? Kan kasian sudah dipukuli."
Syakina malah terkekeh. Membuat pria itu keheranan.
"Lha kok ketawa, Mba?" tanyanya bingung.
"Kalau saya salah menduga pelakunya ya tinggal bilang aja, maaf saya buta, gak sengaja." Syakina tersenyum malu.
***
Dipost di grup FB KPFI