Perawan Sunti

6 1 1
                                    

"Melamun lagi!" Sebuah tepukan keras mendarat di bahuku. Aku terkesiap dibuatnya. Seruan mamaku berhasil menyelamatkanku dari lamunanku yang kesekian kalinya.

"Eh iya mah, maaf," sahutku malu-malu. Segera saja kuselesaikan menata kue-kue jajanan pasar di atas piring.

"Apa kamu yakin gak apa-apa?" tanya mama sembari menatapku resah.

"Insyaa Allah yakin, Mah." Aku berusaha mengukir senyum di wajahku yang sudah mulai berumur ini. Hampir empat puluh tahun usiaku tapi aku masih belum dipertemukan dengan jodohku.

Kusadari raut wajah mama yang masih menatap putri sulungnya dengan penuh kekhawatiran. Tak mau dikasihani lagi, aku segera pergi sambil membawa dua piring berisi kue-kue yang akan disajikan di meja ruang tamu.

Hari ini memang akan kedatangan tamu penting di rumah keluargaku yang sederhana ini. Seorang pria memakai batik mega mendung dengan senyum renyah itu baru saja datang dengan mobil mewahnya. Ia tak datang sendiri. Kedua orang tuanya turut serta dengan membawa beberapa buah tangan. Perasaanku langsung berdebar-debar tak menentu manakala kedua netra kami beradu. Ia sudah berdiri di depan pintu rumah. Tersenyum ramah padaku seperti biasanya. Membuat jantungku berdebar.

"Assalamualaikum, Jeng," sapanya.

"Waalaikumsalam Man. Silakan masuk!" balasku.

Baru saja Firman -- nama lelaki itu -- hendak masuk bersama kedua orang tuanya, Andini sudah berdiri di sampingku menyambut tamu kehormatannya. Sinar kebahagiaan terpancar di sorot matanya yang indah. Adikku itu nampaknya baru saja selesai berdandan. Ia tampil cantik dan anggun dengan kebaya muslimah berwarna pink salem.

"Mba Ajeng, aku sudah cantik belum?" tanyanya setengah berbisik.

"Cantik, Din. Pantas aja kamu lama banget dandannya."

"Iyalah, Mba. Namanya juga hari spesial." Ia tersenyum bahagia padaku. Kucoba membalas senyumannya. Ikut serta merasakan kebahagiaan itu walaupun jauh di dalam sudut hatiku ada rasa perih yang terasa setiap kali ia tersenyum untuk Firman.

Tak lama kedua orang tuaku pun datang menyambut mereka. Menyalami dan mempersilakan duduk di sofa. Obrolan basa basi pun terjadi lagi. Andini duduk di seberang Firman. Kedua mata mereka saling berbicara dalam diam. Wajah Andini tersipu malu manakala Firman terus-menerus menatapnya penuh kekaguman. Ada desiran menyakitkan menyaksikan itu. Aku memilih untuk kembali ke dapur membuatkan minuman untuk tamu. Aku harus kuat dan tabah. Aku adalah wanita hebat. Jangan hanya karena hendak dilangkahi lagi oleh adikku menikah membuatku lemah.

Kutarik napasku dalam-dalam sambil mengaduk teh manis hangat di cangkir. Terbesit senyum Firman padaku tadi, dan juga senyum dia lainnya. Andaikan senyum itu bisa jadi milikku betapa bahagianya aku. Aku hanya bisa berharap walaupun itu mustahil.

Lelaki seumuran denganku itu adalah teman sekolahku. Dia adalah cinta pertamaku. Asal tahu saja. Tapi perasaanku ini selalu kupendam dalam hati. Tak pernah sedikitpun aku menunjukkannya. Rasa kurang percaya diri ini selalu menahanku untuk mengekspresikan gelora di dadaku. Sampai akhirnya Firman kenal dengan Andini, adikku nomor dua. Andini anak yang ceria dan selalu mudah bergaul. Dia bukan anak pemalu sepertiku. Maka tak heran dengan mudah dia dapat melulugka hati Firman. Aku hanya bisa pasrah dan menahan luka mengetahui saat Andini curhat suatu hari. Betapa bahagianya dia baru saja ditembak oleh Firman. Segera kupeluk tubuhnya saat itu. Berharap bisa bertukar tubuh dengannya seperti di film science fiction. Tapi nyatanya itu hanya khayalanku. Aku menangis malam harinya. Kini selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan berusaha menguatkan hati, akhirnya aku bisa tegar. Yang penting adikku bahagia dan cepat dapat jodoh. Jangan sepertiku. Perawan tua kata orang-orang.

---

Sehari sebelum pernikahan Andini, kami tiga bersaudara berkumpul di kamar tidurku. Saling bercerita satu sama lain. Itu sudah menjadi kebiasaan kami sejak kecil. Namun, beberapa tahun belakangan ini aku lebih banyak jadi pendengar mereka. Mendengarkan kehidupan bahagia mereka. Anisa, adik pertamaku yang lebih dulu menikah paling semangat bercerita tentang betapa repotnya dia menjadi ibu muda dengan balita sangat aktif. Disusul curhatan Andini yang tak sabar ingin menjadi istri Firman besok. Lalu berencana bulan madu di Jepang selama seminggu. Senyum-senyum bahagia itu terus merekah di wajah kedua adikku. Asalkan kalian bahagia, aku pun bahagia. Perih yang kurasa tak akan kuanggap.

"Mba Ajeng sih dulu nekat banget masuk ke Gua Perawan Sunti waktu dulu. Jadi gini kan?" celetuk Anisa tiba-tiba.

"Yah ... dia melamun lagi, Nis," tambah Andini. Dia mencubit lenganku. Aku memekik kesakitan.

"Apaan sih tiba-tiba ngomongin Gua Perawan Sunti?" protesku.

"Ya ampun masa Mba Ajeng lupa? Ingat gak dulu waktu kita kecil pernah main ke Gua Sunyaragi. Terus kita taruhan gitu. Siapa yang berani masuk ke Gua Perawan Sunti bakalan dapat sepeda baru dari papa," ungkap Anisa mengorek-ngorek kenangan masa lalu itu.

"Nah iya tuh. Mungkin gara-gara Mba Ajeng masuk ke situ jadi susah dapat jodoh, Mba. Masuk akal deh sekarang." Andini ikut menimpali.

Ingatanku langsung mundur jauh ke belakang. Jadi teringat waktu itu aku masih kelas 3 SMP, Anisa kelas 1 SMP, dan Andini kelas 5 SD. Bersama kedua adikku, orang tua kami mengajak kami mengunjungi situs Gua Sunyarangi saat liburan sekolah. Komplek Tamansari Gua Sunyaragi berlokasi di Jln. By Pass, Kesambi, Cirebon. Di mana di sana ada beberapa gua yang memiliki banyak arti dan mitosnya masing-masing.

Mitos yang paling terkenal di Gua Sunyaragi adalah adanya lorong yang tembus hingga ke Mekah dan Tiongkok. Lokasinya berada di belakang pelataran Gua Argajumut. Namun, di dalamnya hanya ada ruangan kecil berukuran 1 x 1 meter.

Mitos lainnya yang berkembang di Kompleks Taman Sari Gua Sunyaragi adalah Patung Perawan Sunti. Patung ini terletak di depan mulut Gua Petang dan berbentuk seperti tugu kecil. Mitosnya adalah jika ada anak gadis yang belum menikah menyentuh patung tersebut, maka akan susah mendapatkan jodoh.

Mitos lainnya yang berkembang di Gua Sunyaragi adalah mitos di Gua Kelanggengan. Mitos di sini merupakan kebalikan dari Patung Perawan Sunti, yakni membuat cepat dapat jodoh.

Saat itu, kami bertiga membuat taruhan nyeleneh. Hanya gara-gara papa akan membelikan putrinya sepeda baru. Namun, karena sepedanya cuma satu dan kami semua menginginkannya, aku mengusulkan ide itu. Barang siapa yang berani menyentuh patung Perawan Sunti, maka dia berhak memiliki sepeda baru itu. Yang lainnya hanya boleh pinjam.

Anisa dan Andini yang ketakutan dengan mitos itu tak berani menerima tantanganku. Akhirnya aku memberanikan diri menyentuh patung tersebut. Dengan logika itu hanya mitos tak masuk akal. Jodoh, rejeki dan maut hanyalah milik Allah. Maka kenekatanku ini membuatku jadi pemenang mutlak. Sepeda baru dari papa sepenuhnya jadi milikku. Aku girang sekali. Adikku hanya bisa menatap sedih saat aku bisa bersekolah memakai sepeda baru.

Kini aku tercengang sendiri teringat memori masa kecil itu. Mungkinkah karena itu?

***

Semangkuk SaladTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang